Imunitas Profesi dalam Perspektif Hukum Pidana
Utama

Imunitas Profesi dalam Perspektif Hukum Pidana

Upaya mengungkap pelanggaran etika juga menyangkut kepentingan masyarakat.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi etika profesi. Sumber ilustrasi: josephsononbusinessethic.com
Ilustrasi etika profesi. Sumber ilustrasi: josephsononbusinessethic.com

Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan kode etik di kalangan aparat penegak hukum. Selama ini, masyarakat mencurigai sidang-sidang penegakan kode etik banyak digunakan dalam melindungi semangat membela korsa. Ke depan, peradilan etika perlu diperkuat.

Pentingnya transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan sidang penegakan kode etik mengemuka dalam diskusi webinar ‘Imunitas Profesi, Menguji Etika dalam Hukum Pidana’ yang diselenggarakan komunitas dosen hukum pidana Indonesia, Kamis (10/9).

Pemikiran itu berangkat dari asumsi bahwa selama ini masyarakat kurang mempercayai sidang-sidang penegakan kode etik profesi hukum baik dalam bentuk majelis kehormatan maupun nama lain karena selama ini dilakukan tertutup. Masyarakat tidak tahu bagaimana pembuktian dilakukan dan apakah proses bersidang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran etis.

Dosen-dosen hukum pidana tidak menutup mata terhadap persoalan penegakan etika tersebut. Menurut akademisi Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Rocky Marbun, mengatakan ketertutupan sidang majelis kehormatan profesi hukum layak dikritik. “Seharusnya dilakukan terbuka,” ujarnya saat berbicara dalam webinar tersebut.

(Baca juga: Hukum Mengapung di Samudera Etika).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi, juga berpendapat perbaikan ke depan yang perlu dilakukan adalah memastikan sidang etika dilakukan secara transparan dan akuntabel. Bagaimana masyarakat tahu tidak terjadi kongkalikong atau prosesnya dilakukan tidak untuk melindungi sejawat jika sidang etikanya dilakukan tertutup. Padahal etika itu tak hanya melulu mengenai oknum penyandang profesi hukum tetapi juga berkaitan dengan masyarakat. “Sidang disiplin atau etika harus dilakukan akuntabel dan transparan,” tegas dosen yang sedang menempuh pendidikan di Leiden University, Belanda.

Fachrizal juga berpendapat bahwa jika penyandang profesi hukum sudah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana, maka ia juga layak dinyatakan melanggar kode etik profesi. Fachrizal dan Rocky sependapat mengenai penting hukum acara penegakan etika, di samping memperkuat lembaga yang menyidangkan dugaan pelanggaran etika, dan memperkuat pengawasan vertikal.

Zulkarnain, dosen hukum pidana Universitas Widyagama Malang, mengamini kritik terhadap terhadap ketertutupan. Adakalanya orang yang ditunjuk menyidangkan dan memutus perkara, menjadi pembela atau pendamping aparat hukum yang dituduh melanggar etika dipilih dari orang-orang tertentu yang punya tujuan khusus. Misalnya, mengamankan institusi atau aparat bersangkutan bersangkutan. Termasuk mencegah terbukanya keterlibatan atasan orang yang sedang diadili. “Sidang disiplin atau etika profesi hukum acapkali cenderung sekadar proforma,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait