Aspek Formal dan Substansi Surat Edaran Menkes Dikritik
Berita

Aspek Formal dan Substansi Surat Edaran Menkes Dikritik

Pasien yang tidak puas atas pelayanan fasyankes dapat mempersoalkan izin RS. Ingat, UU Rumah Sakit menjadikan ketiadaan izin operasi sebagai tindak pidana.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi surat edaran. Ilustrator: HGW
Ilustrasi surat edaran. Ilustrator: HGW

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah menerbitkan sejumlah peraturan dan aturan kebijakan bidang kesehatan sehubungan dengan terjadinya pandemi Covid-19. Salah satu aturan kebijakan yang banyak dikritik komunitas hukum kesehatan adalah Surat Edaran Menkes No. HK.02.01/Menkes/455/2020 Tahun 2020 tentang Perizinan dan Akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Penetapan Rumah Sakit Pendidikan pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Kritik terhadap Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan itu mengemuka dalam webinar hukum kesehatan yang secara khusus membahas SE itu, diselenggarakan Magister Hukum Kesehatan FH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Kamis (10/9). Kritik bukan hanya mengenai substansi, tetapi juga mengenai format atau jenis produk hukum yang dipergunakan, bahkan mengenai proses pembentukannya.

Anggota Badan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, misalnya, mempertanyakan apakah penerbitan SE itu sudah melibatkan para pemangku kepentingan seperti pengelola rumah sakit (RS) dan fasilitas pelayanan kesehatan. “Konsultasi publik dalam pembuatan SE ini penting. Pihak-pihak yang berkepentingan perlu diakomodir,” kata Sudaryatmo.

(Baca juga: SE Izin dan Akreditasi Fasilitas Layanan Kesehatan Kala Pandemi Terbit, Ini Bunyinya).

Ia juga mengkhawatirkan turunnya kualitas pelayanan kesehatan dengan dalih situasi darurat pandemi. Apalagi jika perizinan tidak ditopang oleh pengawasan yang baik. “SE Menkes menimbulkan ketidakpastian hukum dalam relasi pasien dengan rumah sakit, khususnya terkait jaminan mutu layanan rumah sakit yang diberikan kepada pasien,” ujarnya.

SE Menkes tersebut pada dasarnya mengatur tiga hal, yakni perizinan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), akreditasi fasyankes, dan penetapan rumah sakit pendidikan. Tujuan SE ini untuk meningkatkan dukungan dan kerjasama lembaga terkait dalam pelaksanaan perizinan dan akreditasi fasyankes dan penetapan RS pendidikan pada masa pandemi Covid-19. Perizinan dan akreditasi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Demikian pula penetapan rumah sakit pendidikan. Tetapi jika proses perizinan, akreditasi dan penetapan itu menyebabkan berkumpulnya orang, maka kondisi itu mengandung risiko penyebaran Covid-19. Itu sebabnya SE Menkes mencoba membuat aturan kebijakan selama pandemi.

Misalnya, perizinan fasyankes. Ditentukan dalam SE bahwa izin penyelenggaraan atau operasional fasyankes yang telah habis masa berlakunya namun proses perpanjangan izin terkendala kondisi bencana nasional non-alam atau kedaruratan kesehatan masyarakat, maka izinnya dinyatakan tetap berlaku selama satu. Jangka waktu ini dihitung sejak status bencana tersebut dicabut oleh pemerintah. Bagi fasyankes yang baru mengajukan izin, tetapi terkendala oleh Covid-19, maka fasyankes itu dianggap memiliki izin selama satu tahun sejak bencana nasional dicabut. Tetapi, pengelola fasyankes wajib membuat pernyataan komitmen pelayanan sebagai syarat kerjasama dengan BJPS Kesehatan, badan usaha atau lembaga lain.

Aspek Formal

Pilihan Menteri Kesehatan pada jenis Surat Edaran telah menuai kritik. Surat Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019). Surat Edaran merupakan salah satu jenis aturan kebijakan (beleidsregel) yang berfungsi mengatur pedoman internal.

Tags:

Berita Terkait