Memahami Konsep Openbare Orde dalam Hukum Indonesia

Memahami Konsep Openbare Orde dalam Hukum Indonesia

Openbare orde dapat dipakai sebagai dasar mempersoalkan kausa yang halal dalam perjanjian. Dipakai dalam persoalan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia.
Memahami Konsep Openbare Orde dalam Hukum Indonesia

Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat memenuhi syarat, yakni perjanjian yang sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ini berarti para pihak yang menandatangani perjanjian telah membuat undang-undang  bagi diri mereka. Dalam pembuatan perjanjian berlaku asas contract vrijheid, kebebasan bagi para pihak untuk menentukan apa  yang akan mereka atur.

Keabsahan perjanjian ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang mempersyaratkan adanya kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan kausa atau sebab yang halal. Mengenai kausa (Belanda: orzaak) yang halal berkenaan dengan syarat objek, yakni mengenai isi perjanjian. Frasa ‘sebab yang halal’ tidak dimaksudkan apa sebabnya seseorang membuat perjanjian. Frasa itu lebih melihat pada isi perjanjiannya. Misalnya, dalam perjanjian jual beli: pihak yang satu menginginkan barang, pihak yang lain membutuhkan uang. Kausa perjanjian ini halal.

Lain halnya jika dua pihak membuat perjanjian untuk membunuh seseorang pihak ketiga. Perjanjian semacam ini dilarang undang-undang. Jadi, kausa perjanjian haruslah sesuatu yang tidak terlarang agar perjanjian memenuhi syarat keabsahan. Putusan Mahkamah Agung No. 80 K/Sip/1975 tertanggal 4 Juli 1979 memuat kaidah hukum: perjanjian yang dibuat dengan kausa yang tidak diperkenankan adalah tidak sah.

Berkaitan dengan dengan larangan dalam perjanjian, Pasal 1337 KUH Perdata (BW) menyebutkan ‘suatu sebab/kausa adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan umum yang baik atau ketertiban umum’, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Moch. Isnaeni dalam salah satu tulisannya (Hukum Perikatan dalam Perdagangan Bebas, 2013), menyatakan kausa yang diperbolehkan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak sudah lama menimbulkan perdebatan. Apa makna dan bagaimana cara menetrapkan tidak jelas. Ada yang mengartikannya sebagai ‘tujuan’ padahal pemahaman itu tidak sejalan dengan Pasal 1335 KUH Perdata. Kondisi demikian dapat menyebabkan ketidakpastian yang sangat mengganggu.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional