Perdana Gugatan Pembatalan Surat Presiden, Majelis Hakim PTUN Didorong Lakukan Penemuan Hukum
Berita

Perdana Gugatan Pembatalan Surat Presiden, Majelis Hakim PTUN Didorong Lakukan Penemuan Hukum

Surat Presiden dalam proses legislasi yang diatur dalam UU PPP ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan konsep “persetujuan bersama” antara Presiden dan DPR dalam proses legislasi.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Mari sejenak melihat kelanjutan sidang perkara No: 97/G/2020/PTUN-JKT tentang gugatan pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Selasa, (15/9) lalu. Dalam sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari penggugat, hadir sejumlah ahli yang menyampaikan keterangannya terkait surat Presiden yang dikeluarkan kepada DPR untuk melakkan pembahasan RUU Cipta Kerja. 

Hingga kini, RUU “sapu jagad” ini terus dibahas oleh DPR dan perwakilan pemerintah. Meskipun banyak penolakan dari berbagai pihak yang menilai dari segi substansi, prosedur, bahkan momentum, RUU Cipta Kerja tidaklah tepat. Karena itu, Surat Presiden yang menugaskan perwakilan pemerintah melakukan pembahasan bersama DPR ikut dipersoalkan karena menjadi cerminan dari sikap politik presiden terhadap RUU kontroversial tersebut.

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, yang menjadi salah satu ahli yang dihadirkan penggugat menyebutkan bahwasanya dalam rangkaian proses legislasi, Surat Presiden merupakan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara. Karena itu Bivitri menyuratkan bahwa dalam konteks gugatan a quo, Surat Presiden merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara jika dibuat dalam suasana yang minim partisipasi.

“Dapat digugat ke pengadilan jika memang dibuat dengan proses yang tidak partisipatif. Keberadaan Surat Presiden tidak hanya dimuat dalam sebuah peraturan tata persuratan, melainkan dalam undang-undang,” ujar Bivitri kepada hukumonline, Rabu (15/9). (Baca: Urgensi Pengaturan Bank Tanah dalam RUU Cipta Kerja)

Terkait ini, Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) mengatur, secara materil fungsi Surat Presiden dalam proses legislasi adalah untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang dari Presiden. UU PPP juga secara secara rinci mengatur jangka waktu respons selama 60 hari (Pasal 50 ayat (2)).

Menurut Bivitri, Surat Presiden dalam proses legislasi yang diatur dalam UU PPP ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan konsep “persetujuan bersama” antara Presiden dan DPR dalam proses legislasi. Karena itu, Surat Presiden dalam proses legislasi merupakan bagian dari wewenang konstitusional Presiden, dalam rangka menjalankan Kekuasaan Pemerintahan Negara, yang diatur dalam Bab III UUD 1945, khususnya Pasal 5 yang mengatur hak presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang.

Karena itu, Bivitri menilai keputusan presiden untuk mengeluarkan atau tidak mengeluarkan Surat Presiden dalam proses legislasi, harus didului dengan proses pengecekan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) maupun asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan. Bivitri mengingatkan, keberadaan kedua asas ini mensyaratkan keterbukaan.

Tags:

Berita Terkait