Dinilai Bermasalah, Presiden Diminta Meninjau Ulang Penerapan UU PSDN
Berita

Dinilai Bermasalah, Presiden Diminta Meninjau Ulang Penerapan UU PSDN

Karena pengaturan komponen cadangan dan bela negara dalam UU PSDN dinilai kurang tepat dan konsisten, sehingga berpotensi melanggar HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi TNI: HGW
Ilustrasi TNI: HGW

Terbitnya UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) sejak awal mendapat kritik dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat sipil sampai lembaga negara seperti Komnas HAM. Beberapa menjadi sorotan antara lain mengenai komponen cadangan dan bela negara.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan UU PSDN menerapkan prinsip conscientious objection dengan setengah hati. Al menjelaskan resolusi PBB 1998/77 UNHCR, menyebutkan conscientious objection adalah penolakan bersungguh-sungguh oleh seseorang terhadap wajib militer berdasarkan kepercayaannya (believe). Individu yang melakukan penolakan disebut conscientious objector. Tapi, prinsip ini tidak diadopsi secara penuh dalam UU No.23 Tahun 2019 itu.  

Pasal 28 ayat (2) UU No.23 Tahun 2019 menyebutkan pendaftaran menjadi komponen cadangan bersifat sukarela, tapi Pasal 35 UU itu menyebutkan calon komponen cadangan yang lulus seleksi wajib mengikuti pelatihan dasar kemiliteran selama 3 bulan. Bahkan, Al melihat UU No.23 Tahun 2019 mengatur sanksi pidana bagi komponen cadangan yang tidak memenuhi panggilan mobilisasi.

Selain itu, tidak ada mekanisme komplain bagi komponen cadangan yang menolak perintah atau penugasan. Hal ini berpotensi melanggar HAM. “UU PSDN ini mengatur sanksi pidana. Konsekuensinya, hal ini mengabaikan prinsip conscientious objection,” kata Al Araf dalam diskusi secara daring bertema “Komponen Cadangan dalam Spektrum Demokrasi dan HAM di Indonesia”, Kamis (17/2/2020). (Baca Juga: Menyoal Rencana Pendidikan Militer Masuk Kampus)

Al juga menyoroti sumber anggaran untuk kegiatan komponen cadangan sebagaimana diatur Pasal 75 UU PSDN karena bisa berasal dari APBN, APBD, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Padahal, Pasal 25 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 66 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN.

“Ini menunjukkan UU No.23 Tahun 2019 mengabaikan penggunaan anggaran yang sifatnya sentralistik. Sumber anggaran komponen cadangan yang tidak sentralistik rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan anggaran,” kritiknya.

Membandingkan dengan praktik komponen cadangan di berbagai negara seperti Filipina, Al melihat peserta komponen cadangan berasal dari kalangan PNS. Berbeda dengan UU No.23 Tahun 2019 yang menargetkan anggota komponen cadangan meliputi usia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Anggota komponen cadangan harus dilatih dan tunduk dengan berbagai aturan sampai usia 47 tahun dan ditujukan untuk kepentingan perang dan nonperang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait