Modifikasi Hukum oleh Mahkamah Agung Melalui PERMA dan SEMA
Kolom

Modifikasi Hukum oleh Mahkamah Agung Melalui PERMA dan SEMA

Modifikasi melalui PERMA dan SEMA tersebut harus sejalan dengan desain hukum nasional.

Oleh:
Sudarsono
Bacaan 7 Menit
Sudarsono. Foto: Istimewa
Sudarsono. Foto: Istimewa

Pada 24 Juli 2019 kemarin Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penerbitan PERMA 1/2020 tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan proporsionalitas pemidanaan dalam mewujudkan keadilan dan mencegah dispartitas perkara yang memiliki karakter serupa (Konsiderans Menimbang huruf a dan b PERMA 1/2020).

Proses penerbitan PERMA 1/2020 ini telah melalui kajian bersama Kelompok Kerja MA dengan Tim Peneliti MaPPI FHUI selama hampir dua tahun. Sebelumnya, pada tahun 2019, MA telah menerbitkan PERMA 1/2019 perihal Peradilan Elektronik dan PERMA 2/2019 perihal Sengketa Tindakan Pemerintahan di Peradilan TUN. Selain PERMA, MA juga telah menerbitkan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Untuk tahun 2020 hingga awal Agustus ini, MA telah menerbitkan delapan SEMA, kebanyakan adalah pedoman pelaksanaan tugas peradilan semasa pandemi Covid-19.

Banyaknya penerbitan PERMA dan SEMA pada saat ini dibandingkan dua atau tiga dekade lalu tak jarang menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Sejak berdirinya MA pada 19 Agustus 1945 hingga berakhirnya masa Orde Lama pada 1966 misalnya, MA hanya menerbitkan enam PERMA. Pada masa Orde Baru, MA hanya menerbitkan delapan PERMA. Namun, semenjak Reformasi hingga tahun 2020 ini, berdasarkan JDIH pada website MA, MA telah menerbitkan 79 (tujuh puluh sembilan) PERMA.

Demikian juga, penerbitan SEMA juga mengalami peningkatan. Banyaknya PERMA dan SEMA yang diterbitkan oleh MA pada saat ini setidaknya disebabkan oleh empat hal: pertama, perubahan tatanan ketatanegaraan pasca Reformasi, di mana cukup banyak produk legislasi yang harus ditindaklanjuti oleh MA dengan menerbitkan PERMA dan (juga) SEMA. Kedua, semakin banyak dan beragamnya perkara yang diajukan ke lembaga peradilan, sementara terkadang dijumpai peraturan perundang-undangannya belum ada, tidak jelas atau malah saling bertentangan. Ketiga, meningkatnya tuntutan masyarakat atas profesionalisme kinerja MA. Keempat, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berpengaruh pada pelaksanaan tugas peradilan.

Keempat hal di atas mengharuskan MA untuk menerbitkan PERMA dan SEMA yang, meminjam istilah T. Koopman, bersifat modifikasi. Produk hukum bersifat modifikasi tersebut dimaksudkan untuk memperlancar tugas MA dalam mewujudkan keadilan. Banyaknya PERMA dan SEMA tersebut sempat menjadi kekhawatiran para akademisi atas potensi meningkatnya disharmoni antar peraturan perundang-undangan, juga tentang kontrol hukum terhadap PERMA dan SEMA.

Berangkat dari hal di atas, tulisan ini akan membahas modifikasi hukum yang dilakukan MA dalam pelaksanaan tugas peradilan dengan menggunakan instrumen PERMA dan SEMA sebagai isu hukum utama, dengan sub isu hukum berupa eksistensi PERMA dan SEMA, modifikasi melalui PERMA dan SEMA, dan kontrol hukum terhadap PERMA dan SEMA.

Eksistensi PERMA dan SEMA

Dasar kewenangan MA menerbitkan PERMA adalah Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 79 UU MA, dan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12/2011, di mana apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur, MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan melalui PERMA.

Tags:

Berita Terkait