Penghapusan Pasal 20 UU Paten dalam RUU Cipta Kerja
Kolom

Penghapusan Pasal 20 UU Paten dalam RUU Cipta Kerja

Penghapusan tersebut sebuah pertanda kemenangan kaum kapitalis di bumi Indonesia.

Prof. Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum. Foto: Istimewa
Prof. Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum. Foto: Istimewa

Hari-hari belakangan ini Balegnas sedang sibuk membahas RUU Cipta Kerja, yang dimuat dalam ratusan lembar kertas dan ratusan pasal itu. Salah satu yang tertera dalam RUU itu adalah yang termuat dalam Pasal 110 yang menghapuskan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Padahal pasal itu adalah "rohnya" Undang-Undang Paten yang menyambungkan substansi pelindungan paten dengan tujuan negara sebagaimana disepakati oleh The Founding Fathers bangsa ini yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni antara lain; melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan dihapuskannya Pasal 20 itu sebenarnya sama saja dengan mencabut UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten secara keseluruhan. Artinya UU Paten itu sudah tidak diuperlukan lagi.

Paten dan isu Global

Pelindungan paten telah menjadi isu global, sejak ditandatanganinya Marakesh Convention Tahun 1994 yang di dalamnya memuat instrumen ikutannya antara lain TRIPs Agreement aspek perdagangan kini tidak lagi berdiri sendiri tetapi dihubungkan dengan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, salah satunya Paten. Paten telah menjadi isu strategis, karena paten berhubungan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermuara pada produk-produk industri barang dan bahkan jasa yang digunakan dalam lalu lintas perdagangan.

Teknologi yang berhubungan dengan invensi baru yang akan diterapkan dalam dunia industri telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Akibatnya kekuatan ekonomi masyarakat dan dunia sangat tergantung pada kepemilikan paten. Dalam posisinya yang demikian, maka paten selalu menjadi sumber konflik antara negara kaya sebagai pemilik paten dengan negara yang sedang berkembang (developing countries), yang kerap kali sebagai negara konsumen.

Konflik juga berlangsung, antara pengusaha industri dengan pemilik paten yang berasal dari negara yang berada pada dua kutub yang berbeda di mana negara developing countries, kerap kali mendapatkan kesulitan untuk memperoleh lisensi. Bahkan untuk proses alih teknologipun melalui instrumen investasi negara developing countries kesulitan untuk mendapatkannya.

Biasanya pemilik paten berasal dari negara industri maju, sedangkan pengusaha yang akan menerapkan paten melalui lisensi kebanyakan berada di negara developing countries. Pemilik paten yang berasal dari negara majupun tidak dengan segera mendaftarkan patennya di negara developing countries, jika negara itu memuat syarat yang mereka anggap merugikan pemilik paten atau pemegang lisensi. Ketimpangan penguasaan teknologi dan kepemilikan paten kerap kali menjadikan negara developing countries menjadi tidak berdaya.

Ketika Negara developing countries, seperti Indonesia ingin melindungi kepentingan dalam negerinya, melalui instrumen hukum paten, maka tak pelak lagi Indonesia tak dapat menghindar dari tekanan asing. Itulah yang terjadi ketika Indonesia harus memulai penataan hukumnya melalui metode Omnibus law untuk menggalakkan investasi guna mengejar ketertinggalan Indonesia dalam membangunan ekonominya. Indonesia harus menghapus Pasal 20 UU No, 13 Tahun 2016 tentang Paten. Sebuah pertanda kemenangan kaum kapitalis sekaligus melindungi kepentingan asing dalam pertarungan global.

Tags:

Berita Terkait