Alasan Pengaturan PLTN Minta Dicabut dalam RUU Energi Baru Terbarukan
Berita

Alasan Pengaturan PLTN Minta Dicabut dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Karena isu tenaga nuklir telah banyak dibahas di aturan tersendiri. Seperti UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, hingga masuk dalam draf RUU Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol

Alih-alih Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi payung hukum dalam mendukung pengembangan EBT mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional malah menuai kritik. Pasalnya, dalam materi muatan draf RUU terdapat isu nuklir dan sumber energi baru berbasis fosil yang tidak berkelanjutan. Seperti gas metana, gasifikasi batubara, dan likuifaksi batubara, dalam pembahasan draft RUU ini.  Karenanya, muncul desakan agar isu nuklir dikeluarkan dari draf RUU.

“Komisi VIII DPR seharusnys mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draf RUU dan fokus membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan,” demikian pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil untuk energi bersih di Jakarta, Selasa (22/9/2020).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan adanya isu nuklir dalam draf RUU EBT harus menjadi sorotan khusus bagi anggota dewan. Khususnya mengenai kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi dalam menjawab ketahanan energi nasional. Sebab, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) memiliki sifat dan karakter berbeda dari energi terbarukan.

“Resiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang,” ujarnya.

Dia menilai pemerintah dan DPR semestinya mengantisipasi adanya potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Menurutnya, selain biaya yang cenderung mahal, pembangunan PLTN malah membutuhkan waktu jauh lebih panjang ketimbang pembangunan teknologi energi terbarukan.

Sejatinya keberadaan RUU EBT dalam rangka mengisi kekosongan dukungan pada energi terbarukan dalam UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi. Mengacu pada pengalaman sejumlah negara berkembang, seperti India dan Chili telah membuktikan adanya UU khusus. Setidaknya kerangka regulasi yang kuat khusus energi terbarukan, sehingga mampu mendorong dan mengakselerasi pembangunan energi terbarukan.

Sementara peneliti Yayasan Indonesia Cerah, Wira Dillon menambahkan isu nuklir semestinya tak masuk dalam draf RUU EBT. Soalnya, nuklir dibahas tersendiri dalam UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Begitupula dalam pembahasan terkait pengusahaan nuklir dalam ketenagalistrikan telah dimasukan dalam draf RUU Cipta Kerja.

Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah mengulasnya. Yakni nuklir menjadi pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia. Baginya, nuklir seharusnya menjadi opsi terakhir lantaran cadangan uranium Indonesia tak terlampau banyak.

Tags:

Berita Terkait