Dampak Negatif RUU Cipta Kerja di Mata Anggota Panja
Utama

Dampak Negatif RUU Cipta Kerja di Mata Anggota Panja

Dosen STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai RUU Cipta Kerja bermasalah sejak awal. RUU Cipta ini merupakan jalan pintas memangkas hambatan dalam kemudahan berusaha, tapi pembahasannya tidak partisipatif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: Hol
Gedung DPR. Foto: Hol

Pemerintah dan DPR terus berupaya menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Anggota panitia kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sekaligus anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, mengatakan target waktu penyelesaian RUU Cipta Kerja sangat sempit, sehingga proses pembahasan RUU terkesan buru-buru dan tidak mendalam. Akibatnya tidak ada wacana yang berkembang di publik secara komprehensif.

“Pembahasannya sekarang tinggal 3 bab lagi, dan pekan depan selesai di Panja, lalu dibawa ke tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin). Sebelum masa sidang berakhir akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan,” kata Politisi Fraksi Partai Demokrat itu dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan PSHK Indonesia bertema “Problem Birokrasi dan Administrasi Pemerintahan dalam RUU Cipta Kerja”, Selasa (22/9/2020). (Baca Juga: Ini Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja terhadap Publik)

Menurut Benny, pandemi Covid-19 membuat pembahasan RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi (Baleg) DPR cenderung tidak fokus, dan terkesan asal bisa diselesaikan cepat. Inti RUU Cipta Kerja sebagaimana pidato Presiden Jokowi yakni mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan menciptakan lapangan kerja. Selain itu, membenahi peraturan yang tumpang tindih, memangkas proses birokrasi, dan membuka ruang besar untuk investasi.

Meski tujuannya baik, tapi Benny mencermati ketentuan RUU Cipta Kerja banyak masalah. Dia menyebut sedikitnya ada 5 hal yang jadi perhatian. Pertama, tentang administrasi pemerintahan antara pusat dan daerah yang semangatnya sentralisasi. Dia mencatat ada sejumlah kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke pemerintah pusat dengan dalih menghapus hambatan investasi. Menurutnya, hal ini tidak sejalan dengan Pasal 18 UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan otonomi daerah.

Kedua, dengan ditariknya kewenangan daerah ke pemerintah pusat, Benny menyebut akan terjadi obesitas (menumpuknya, red) kekuasaan di tangan Presiden. Dia menghitung banyak bab dan pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

“Sayangnya, tidak jelas apa yang akan diatur melalui 497 PP yang dimandatkan RUU Cipta Kerja, sehingga seolah ada cek kosong yang diserahkan kepada Presiden. Ini tidak sejalan dengan prinsip demokrasi karena rawan disalahgunakan,” paparnya.

Ketiga, jika RUU Cipta Kerja disahkan berpotensi “bertabrakan” dengan konstitusi. Pasal 166 RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah pasal dalam UU Pemerintahan Daerah, yang salah satunya memberi kewenangan Presiden untuk membatalkan perda melalui Peraturan Presiden. Menurut Benny, ketentuan ini praktiknya nanti akan menimbulkan persoalan terkait tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait