Mempersoalkan Predikat Badan Peradilan Bagi Korps Adhyaksa dalam Revisi UU Kejaksaan
Utama

Mempersoalkan Predikat Badan Peradilan Bagi Korps Adhyaksa dalam Revisi UU Kejaksaan

Harus ada revisi juga terhadap UU lain sebagai badan peradilan karena disebut dalam penjelasan pasal yang sama dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Foto: Dok. Hol/Sgp
Foto: Dok. Hol/Sgp

Kelompok masyarakat sipil menemukan sejumlah aspek yang akan menimbulkan problem dari substansi revisi Undang-Undang Kejaksaan yang saat ini tengah berada di DPR. Oleh karena itu, ada tuntutan agar pembahasan revisi UU Kejaksaan dilakukan secara terbuka dan partisipatif agar tidak mengulang kesalahpembahasan beberapa UU yang telah disahkan sebelumnya.

Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Tioria Pretty, Sthepanie menyebut kembali problem pengesahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang minim melibatkan partisipasi publik sebagai alasan kekhawatiran pihaknya. Lebih jauh, menurut Pretty, terdapat substansi dari revisi UU kejaksaan yang perlu dikritisi.

“Dari draft yang kita dapat ditemukan beberapa hal yang menimbulkan tanda tanya,” ujar Pretty saat dihubungi hukumonline, Kamis (24/9).

Pretty mengungkapkan pihaknya menyoroti penggunaan frase badan peradilan kepada lembaga kejaksaan. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 RUU tersebut yang menyebutkan Kejaksaan adalah badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang eksekutif yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

Menurut Pretty, UUD maupun UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. (Baca: Jaksa dan Keluarga akan Mendapat Perlindungan Hukum)

Pasal 38 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Kejaksaan sebagai Badan lain yang memiliki fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Namun menurut Pretty, hal ini tidak berarti bisa menjadikan kejaksaan dipersamakan sebagai badan peradilan. Konsekuensi logis dari penyebutan Kejaksaan sebagai badan peradilan tentunya adalah diperlukan pula revisi terhadap UU Kepolisian, UU Advokat dan UU Pemasyarakatan—sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman—untuk menyebut ketiganya sebagai badan peradilan.

“Harus ada revisi juga nih terhadap UU yang lain sebagai badan peradilan karena mereka disebut dalam penjelasan pasal yang sama dalam UU Kekuasaan kehakiman,” ungkap Pretty.

Tags:

Berita Terkait