Problem Hukum Implementasi Doktrin Business Judgment Rule dalam Perkara Pidana
Utama

Problem Hukum Implementasi Doktrin Business Judgment Rule dalam Perkara Pidana

Perbedaan konsep antara penerapan BJR di Indonesia yang berdasarakan Pasal 97 UU Perseroan Terbatas dengan BJR sebagaimana yang dipahami negara-negara common law.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Pendiri yang juga Partner pada kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Chandra M Hamzah. Foto: HOL
Pendiri yang juga Partner pada kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Chandra M Hamzah. Foto: HOL

Ada yang menarik dalam diskusi daring yang diselenggarakan hukumonline pada Kamis (24/9) lalu. Dalam diskusi yang bertema Implementasi Doktrin Business Judgment Rule dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan, diungkap problem hukum implementasi doktrin BJR dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi di pengadilan. Pasalnya, BJR sendiri pada dasarnya merupakan doktrin impunitas bagi pengurus perusahaan.

Di negara asalnya yang menganut sistem hukum common law, BJR merupakan doktrin hukum yang dalam penggunaannya dimaknai sebagai ukuran bagi hakim untuk menolak melakukan penilaian terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh direksi. Oleh karena itu, penggunaan BJR memiliki konsekuensi bagi penuntut untuk membuktikan dalam proses pengambilan keputusan, Direksi tidak menerapkan prosedur BJR.  

“Jadi itu alasan yang digunakan oleh hakim untuk menolak (tuntutan),” ujar Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rasamala Aritonang.

Pendekatan berbeda, menurut Rasamala, ketika melihat ketentuan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dirinya menilai maksud dari pasal 97 ayat (5) adalah menjadikan BJR untuk menilai apakah tindakan yang dilakukan Direksi/Komisaris benar sesuai prinsip BJR atau tidak.

Dengan kata lain, Pasal 97 ayat (5) yang mengatur penggunaan iktikad baik, kehati-hatian, ketiadaan benturan kepentingan, serta langkah-langkah pruden dalam pengambilan keputusan oleh pengurus dalam hal ini direksi atau komisaris, digunakan untuk mengukur proses pengambilan keputusan, bukan sebagai alasan hakim mengesampingkan pertanggung jawaban pengurus perusahaan sebagaimana yang diterapkan di negara-negara common law.

Pendekatan BJR menurut Pasal 97 UU perseroan Terbatas yang seperti ini dikonfirmasi oleh Hakim Agung Kamar Pidana pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, Surya Jaya. Menurut Surya Jaya, dalam memeriksa perkara tindak pidana korupsi yang menghadirkan pengurus BUMN, perlu memperhatikan rambu-rambu Pasal 97 ayat 5 UU Perseroan Terbatas.

“Ada rambu  yang harus penuhi agar BJR yang dilakukan dapat diterima dan 4 indikator dalam pasal 97 ayat 5 yang menjadi indikator utama penerapan BJR dalam konteks yang ada dalam UU PT,” terang Surya Jaya. (Baca: 2 Pakar Sepakat ‘Mens Rea’ Inti Keabsahan Business Judgment Rule)

Tags:

Berita Terkait