Eksepsi “Rasa” Praperadilan Pinangki Sirna Malasari
Berita

Eksepsi “Rasa” Praperadilan Pinangki Sirna Malasari

​​​​​​​Pinangki tidak mempermasalahkan tidak adanya pasal penyertaan meskipun dalam surat dakwaan ada sejumlah nama yang disebut dalam perkara itu.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Pinangki Sirna Malasari mengenakan rompi tahanan saat akan di bawah ke rumah tahanan. Foto: RES
Pinangki Sirna Malasari mengenakan rompi tahanan saat akan di bawah ke rumah tahanan. Foto: RES

Nota keberatan atau eksepsi atas surat dakwaan penuntut umum kerap kali diajukan para terdakwa dalam kasus pidana, termasuk juga dalam perkara korupsi. Dilansir dari Klinik Hukumonline, 4 Mei 2017 lalu, eksepsi adalah tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok surat dakwaan, tetapi keberatan atau pembelaan yang ditujukan terhadap cacat formal yang melekat pada surat dakwaan.

Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

Hal yang cukup menarik terlihat dari eksepsi yang diajukan Pinangki Sirna Malasari, Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung. Selain memberikan klarifikasi terhadap sejumlah nama yang terseret perkara ini dan juga tentang harta yang ia dapat sehingga bisa bergaya hidup mewah, Pinangki melalui kuasa hukumnya juga menyinggung mengenai kasus hukum dirinya yang terurai dalam surat dakwaan. (Baca: Eksepsi Pinangki, Tepis Keterlibatan Jaksa Agung dan Singgung Kehidupan Pribadi)

Jefri Moses, penasihat hukum Pinangki menyampaikan telah terjadi penyimpangan dalam proses penyidikan dan penuntutan kliennya, yang sekilas seperti terlihat dalam permohonan pra peradilan. Adapun penyimpangan yang dimaksud Jefri yaitu mengenai penetapan tersangka menerima hadiah atau janji yang tanpa alat bukti yang cukup. Menurut Jefri, hanya Berita Acara Pemeriksaan Joko Tjandra yang menerangkan kliennya menerima uang AS$500 ribu seperti yang tertera dalam surat dakwaan pertama Pasal 5 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.

"Kemudian Sdr. Anita Kolopaking (advokat) menyodorkan surat kuasa kepada saya sebagai kuasa hukum dun saya menandatanganinya lalu Andi lrfan Jaya (swasta) menyodorkan Proposal Action Plan kepada saya dan mengatakan meminta bayar DP 50% sebesar AS$500 ribu sesuai dengan permintaannya Sdr. Andi Irfan di hadapan saya dan Sdr. Anita serta Sdr. Pinangki. Selaniutnya pada sore hari mereka berpamitan Sdr. Anita Kolopaking menyampaikan berangkat ke Thailand untuk menghadiri Asean Law sedangkan Andi lrfan, Pinangki, Rahmat kembali ke Jakarta. Pada tanggal 19 November 2019 pada sore hari, uang sebesar AS$500 ribu tersebut diserahkan melalui teman saya bernama Kuncoro yang diberikan kepada Andi lrfan Jaya di sekitar Senayan City. Selanjutnya teman saya Kuncoro menghubungi saya bahwa barang sudah delivered by WA,” ujar Jefri mengutip BAP seperti yang tertera dalam eksepsi.

Menurut Jefri, keterangan Joko Soegiarto Tjandra tersebut tidak menunjukkan adanya pemberian uang yang diterima oleh kliennya. Bahkan pada pemeriksaan selanjutnya yang bersangkutan mengubah keterangannya mengenai orang yang mengantar uang permintaan Andi Irfan Iaya dari semula Kuncoro menjadi Herryadi Angga Kusuma. (Baca: Ini Uraian Dakwaan Berlapis Jaksa Pinangki)

Sama halnya dengan dugaan pidana pencucian uang yang dituduhkan kepada kliennya, Jefri juga menyebut tidak ada alat bukti yang cukup. Menurut Jefri, penyidik dan JPU menuduh Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang terhadap uang sebesar AS$450 ribu yang diterimanya dari loko Soegiarto Tjandra melalui Herryadi Angga Kusuma dan Andi lrfan Jaya sebesar AS$500 ribu yang AS$50 ribu diantaranya diberikan kepada Anita Kolopaking.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait