Polemik Keberpihakan UMKM dalam UU Cipta Kerja yang Baru Disahkan
Berita

Polemik Keberpihakan UMKM dalam UU Cipta Kerja yang Baru Disahkan

Kriteria UMKM pada UU Cipta Kerja dinilai lebih rumit dibandingkan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

DPR baru saja mengesahkan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja sebagai UU pada Senin (5/10). Kehadiran RUU Cipta Kerja ini menjadi polemik mulai dari proses penyusunan yang tidak transparan maupun muatannya yang dianggap tidak berpihak pada pekerja dalam negeri hingga kelestarian lingkungan. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga menuai kritik karena dianggap tidak berpihak pada kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Managing Director Institute Developing Enterpreneurship, Sutrisno Iwantono, mengatakan keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap UMKM belum terlihat pada pasal-pasalnya. Menurutnya, pemerintah bersama DPR seharusnya mendorong pengembangan UMKM karena potensi penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut sangat besar dengan mempertimbangkan jumlah pelaku usaha mikro dan kecil mencapai 98 persen dari total pelaku usaha Indonesia.

“Esensi RUU Cipta Kerja yaitu seharusnya menciptakan lapangan kerja karena Indonesia punya angkatan kerja besar 130 juta lebih. Setiap tahun ada penambahan 2,3 juta angkatan kerja baru. Lalu ada pengangguran 7 juta dan 43 juta yang menanggur tidak kentara, dia bekerja tapi tidak penuh. Sehingga, itu jadi fokus dalam ciptakan lapangan kerja. Jadi, kalau fokusnya angkatan kerja harusnya fokus pada usaha kecil dan mikro. Karena jumlahnya 60 juta lebih usaha sehingga kalau mereka mempekerjakan 1 sampai 2 orang saja setiap usaha maka jumlahnya angkatan kerja mencapai 130 juta lebih. Jadi masalahnya bukan investor dan buruh,” jelas Sutrisno, Selasa (6/10).

Dia mengatakan kriteria UMKM pada UU Cipta Kerja lebih rumit dibandingkan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Pada Pasal 87 UU Cipta Kerja menyatakan kriteria UMKM antara lain dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Meskipun ketentuan lebih lanjut mengenai Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). (Baca: IGJ Kecam Langkah-langkah Menuju Pengesahan UU Cipta Kerja)

“Dulunya kriteria usaha kecil itu aset dan omzet, sederhana. Sekarang itu, kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, nilai investasi, insentif dan insentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal atau jumlah tenaga kerja. Tujuan UU ini harusnya buat mereka berdaya, untuk jadi usaha kecil harus memenuhi kriteria begini banyak. Pelaku usaha kecil ditanya apakah kamu memenuhi ramah lingkungan atau enggak. Kalau tidak maka tidak termasuk usaha kecil. Lalu, masa tukang baso ditanya apakah punya insentif dan disinsentif,” jelas Sutrisno. (Baca: IGJKecam Langkah-langkah Menuju Pengesahan UU Cipta Kerja)

Sementara, dunia usaha menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPR yang telah mengesahkan RUU Cipta Kerja. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (6/10), mengatakan UU Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja.

"UU tersebut mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan membuka lapangan kerja, melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga tercipta lapangan kerja yang semakin besar untuk menjawab kebutuhan angkatan kerja yang terus bertambah," kata Rosan.

Rosan menuturkan pandemi Covid-19 berdampak luas tidak hanya pada kesehatan, namun juga pada ekonomi, termasuk penyediaan lapangan kerja. Saat ini, banyak orang yang kehilangan pekerjaan atau banyak pekerja yang bekerja menjadi paruh waktu. Diharapkan dengan banyaknya investasi yang masuk, lapangan pekerjaan akan semakin terbuka dan meluas.

"Kejadian pandemi Covid-19 memberikan dampak kontraksi perekonomian dan dunia usaha yang sangat signifikan, RUU Cipta Kerja menjadi penting dan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program pemulihan dan transformasi ekonomi," katanya.

Menurut Rosan, dengan adanya dinamika perubahan ekonomi global memerlukan respons cepat dan tepat. Tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan tetap melambat. "Penciptaan lapangan kerja harus dilakukan, yakni dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 6,6-7 persen untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan konsumsi di kisaran 5,4-5,6 persen," imbuhnya.

Rosan juga menilai, pengesahan UU Cipta Kerja itu dapat mendukung program pemberdayaan UMKM dan koperasi agar peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65 persen dan peningkatan kontribusi koperasi terhadap PDB menjadi 5,5 persen. 
Ia menambahkan apabila UU Cipta Kerja dilakukan, maka akan meningkatkan daya saing Indonesia dan mendorong investasi masuk sehingga akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya akan mempercepat pemulihan perekonomian nasional.

Tags:

Berita Terkait