Penghormatan Terhadap Supremasi Sipil Jadi Catatan di Usia TNI ke-75
Berita

Penghormatan Terhadap Supremasi Sipil Jadi Catatan di Usia TNI ke-75

Janji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan anggota TNI semakin tidak jelas.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi Foto: RES
Ilustrasi Foto: RES

Senin (5/10) diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ke-75. Momentum peringatan hari ulang tahun kali ini menjadi refleksi sudah sejauh mana TNI berbenah sebagai bagian dari mandat reformasi TNI. Setara Institute menaruh sejumlah fokus terkait reformasi TNI. Salah satunya mengenai penghormatan terhadap supremasi sipil.

Terkait penghormatan terhadap supremasi sipil, Setara Institute menilai kepemimpinan Presiden Jokowi tidak memiliki paradigma yang solid terkait domain kerja sipil-militer sebagai bentuk penghormatan pada supremasi sipil sebagai ciri utama demokrasi. Ketiadaan pengaturan terkait paradigma criminal justice system dalam Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

Pengaturan tersebut dinilai tidak diikuti dengan mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum. Menurut Setara Institute, Raperpres ini seharusnya berkaitan dengan penguatan paradigma criminal justice system dalam penanganan tindak pidana terorisme, sehingga mengedepankan proses hukum yang transparan dan akuntabel, serta menjunjung tinggi HAM.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani dalam keterangannya menyebutkan, persoalan lain dalam Raperpres pelibatan TNI dalam menangani terorisme adalah berupa ketiadaan landasan kebijakan dan keputusan politik negara dalam pelaksanaannya. Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme yang diatur dalam Raperpres ini berpotensi melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI (UU TNI).

Dalam Raperpres ini, terutama Pasal 2, tidak menyebutkan sama sekali bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yang bersifat temporer. Hal ini menurut Ismail tentu akan melanggar Pasal 5 dan Pasal 7 (3) UU TNI yang secara eksplisit menyebut bahwa TNI dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. (Baca: 8 Usulan Koalisi Untuk Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme)

Selain itu, dalam konteks penindakan, Ismail menilai Raperpres ini juga tidak sesuai dengan UU TNI. Pasal 8 dalam Raperpres ini hanya menyebutkan bahwa Penggunaan kekuatan TNI hanya berdasarkan perintah Presiden. Padahal dalam Pasal 17 (2) UU TNI menyebutkan dalam hal pengerahan kekuatan TNI Presiden harus mendapat persetujuan DPR.

“Kalaupun dalam keadaan mendesak, Pasal 18 (2) UU TNI juga mengatur bahwa dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada DPR,” ujar Ismail dalam keterangannya yang diterima hukumonline, Senin (5/10).

Tags:

Berita Terkait