Merintis Langkah Dekarbonisasi Lewat Transisi Sektor Transportasi Berbasis Listrik
Berita

Merintis Langkah Dekarbonisasi Lewat Transisi Sektor Transportasi Berbasis Listrik

Efisiensi energi melalui pendekatan Avoid, Shift, dan Improve (ASI) yang sudah diadopsi pemerintah saat ini perlu diperkuat kembali.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi kendaraan berbasis listrik. HGW
Ilustrasi kendaraan berbasis listrik. HGW

Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhir September lalu menunjukkan sektor transportasi mendominasi konsumsi energi final di tahun 2019 dengan bauran sebesar 44% (atau setara dengan 414 juta setara barel minyak – SBM). Kebutuhan bahan bakar minyak diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan akan transportasi.

Akibatnya, sektor yang sangat bergantung kepada BBM ini diindikasikan akan terus meningkatkan impor minyak untuk dapat memenuhi permintaan domestik seiring dengan semakin menurunnya produksi minyak domestik. Ketergantungan yang besar terhadap minyak impor tentu membahayakan ketahanan energi Indonesia, yang sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitik dan fluktuasi harga di tingkat global.

Dari perspektif lingkungan, sektor ini juga berkontribusi terhadap tingginya polusi udara di kota-kota besar serta sumbangan emisi GRK yang juga signifikan. Berdasarkan data  di tahun 2017, sektor transportasi menyumbang sekitar 26% dari total emisi GRK sektor energi. Tanpa adanya kebijakan dan program dekarbonisasi yang terintegrasi dan mengarah kepada sistem yang rendah dan nol karbon, emisi GRK transportasi akan meningkat hingga tiga kali lipat (mendekati 500 juta ton setara CO2) di tahun 2050.

Institue for Essential Services Reform (IESR), pekan lalu meluncurkan laporan mengenai perta jalan transisi energi Indonesia berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective. Studi ini menelaah bagaimana sektor transportasi Indonesia harus beralih ke sistem yang rendah karbon, terutama dari sudut pandang teknologi kendaraan dan bahan bakarnya. Sektor yang saat ini menjadi konsumen terbesar energi final di Indonesia, menyumbang secara signifikan tidak hanya polusi udara di kota-kota besar di tanah air, tetapi juga emisi gas rumah kaca (GRK) serta impor bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat. (Baca Juga: Anies Tetapkan DKI Jakarta Kembali ke PSBB Transisi)

Berbagai masalah ini menurut IESR menuntut adanya transisi di sektor transportasi menuju sistem yang berkelanjutan dan rendah karbon. Merujuk kepada temuan studi IESR, bila tidak direncanakan dengan matang, proses transisi ini berpotensi menimbulkan problematika baru, misalnya ketidaksiapan infrastruktur, terjebak di satu teknologi tertentu (technology lock in), hingga adanya potensi aset terdampar (stranded asset) di masa depan.

Oleh karena itu, IESR menyerukan kepada pemerintah dan pembuat keputusan utama lainnya untuk segera menyusun peta jalan dekarbonisasi sektor transportasi menuju sistem rendah karbon, yang tentunya harus terintegrasi dengan sektor utama lainnya dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengingatkan bahwa sektor transportasi perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dalam upaya menyukseskan dekarbonisasi dan transisi menuju sistem yang rendah karbon di tanah air. Menurut Fabby, sejauh ini pembicaraan dan kajian mengenai dekarbonisasi di sektor transportasi di Indonesia masih sangat terbatas, parsial, dan belum berorientasi pada target netto nol emisi (net-zero emission) sesuai Kesepakatan Paris.

Tags:

Berita Terkait