Penanganan Demonstrasi UU Cipta Kerja Dinilai Sarat Pelanggaran Hukum dan HAM
Berita

Penanganan Demonstrasi UU Cipta Kerja Dinilai Sarat Pelanggaran Hukum dan HAM

PBHI mendesak agar Presiden RI, Komisi Nasional HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Ombudsman segera mengusut tuntas seluruh pelanggaran hukum dan hak asasi manusia serta administrasi serta prosedur atas penanganan aksi oleh kepolisian.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 7 Menit
Aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (8/10). Foto: RES
Aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (8/10). Foto: RES

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) menilai penanganan aparat penegak hukum terhadap demonstran penolakan Undang-Undang Cipta Kerja sarat terjadi pelanggaran karena melakukan tindakan brutal dan represif selama aksi berlangsung. PBHI mengidentifikasi berbagai pelanggaran seperti pelarangan dan sweeping sebelum demonstrasi tersebut dimulai. Selain itu, aparat kepolisian melakukan tindakan brutal dan represif dengan kekerasan verbal, pemukulan, pengeroyokan, penembakan gas air mata ke arah kaki atau tubuh demonstran.

“Selama aksi penolakan UU Cipta kerja, PBHI membuka posko pengaduan dan melakukan pemantauan yang dilakukan oleh PBHI Wilayah Jakarta, Jogja, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, baik dalam upaya mendukung gerakan masyarakat yang mengkritisi UU Omnibus Law Cipta Kerja. Selama proses gerakan masyarakat, PBHI menemukan dan mengidetifikasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat kepolisian yang melakukan pengamanan aksi penolakan UU Cipta Kerja,” jelas Ketua PBHI Nasional Totok Yuliyanto, Senin (12/10).

Dia menjelaskan aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) sekurangnya kepada 2.643 orang yang tersebar di 10 Wilayah di Indonesia, dengan rincian Jawa Barat (221 orang), Sulawesi Selaran (250 orang), Lampung (242 orang), Kalimantan Barat (32 orang), Jawa Tengah (260 orang), Jakarta (1000 orang), Sumatera Barat (251 orang), Jogja (146 orang), Sumatera Utara (241 orang). Bahkan, korban dari massa aksi juga terdapat anak yang belum dewasa, misalnya di Sumatera Barat, sekitar 83 pelajar.

“Jumlah ini terus meningkat seiring dengan pengaduan yang diterima hingga hari ini. Keempat, dilakukannya penyiksaan (torture) kepada massa aksi yang ditangkap dan ditahan, dengan cara menelanjangi dan memukul,” jelas Totok. (Baca: Pemerintah Tegaskan Tak Hapus Instrumen Amdal dalam UU Cipta Kerja)

Kemudian, aparat juga menghalangi akses layanan bantuan hukum dari PBHI kepada massa aksi yang ditangkap dan ditahan. Tindakan represif juga dilakukan dengan melakukan Tes Covid-19 secara paksa tanpa konsensus dan tanpa dasar hukum. Misalnya terhadap 21 orang di Sumatera Utara, dan sekitar 201 orang di Jawa Barat. Padahal, mereka justru mengumpulkan massa aksi yang ditangkap dan ditahan tanpa mematuhi protocol Covid-19 karena tidak diberi Masker dan tidak ada jaga jarak fisik.

Atas berbagai tindakan yang dilakukan dalam proses pengamanan pada aksi menolak UU Cipta Kerja, Totok menyampaikan pihaknya menyatakan tindakan Aparat Kepolisian telah melanggar hukum dan HAM, berupa Hak atas Kebebasan Berpendapat sebagaimana dijamin Konstitusi UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM, dan UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 9/2008 tentang Tata Cara Penyelengaraan Pelayanan, Pengamanan, Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, UU No. 23/200 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11/2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip HAM, serta Hukum Acara Pidana dalam KUHAP.

Kemudian, PBHI juga mendesak agar Presiden RI, Komisi Nasional HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Ombudsman segera mengusut tuntas seluruh pelanggaran hukum dan hak asasi manusia serta administrasi serta prosedur atas penanganan aksi oleh kepolisian. Lalu, Presiden RI dan Kapolri agar membuka akses layanan bantuan hukum kepada seluruh massa aksi yang ditangkap dan ditahan, sebagaimana mandat Konstitusi UUD 1945 dan UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum.

Tags:

Berita Terkait