10 Alasan Penyandang Disabilitas Dorong Presiden Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja
Berita

10 Alasan Penyandang Disabilitas Dorong Presiden Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja

Karena materi muatannya bentuk kemunduran terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Penyandang disabilitas. Foto: RES
Penyandang disabilitas. Foto: RES

Gelombang penolakan terhadap UU tentang Cipta Kerja masih digaungkan sejumlah elemen masyarakat setelah mereka menggelar aksi demonstrasi Selasa-Kamis (6-8/10) di berbagai daerah. Kini, penolakan datang dari kelompok atau komunitas penyandang disabilitas. Tuntutannya agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.

“Mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja dalam waktu 14 hari dimulai sejak hari ini,” ujar anggota Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja 2020, Fajri Nursyamsi melalui konfrensi pers secara virtual, Senin (12/10/2020). (Baca Juga: Dinilai Cacat Formil-Materil, Presiden Diminta Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja)

Setidaknya terdapat 10 alasan jaringan penyandang disabilitas menolak UU Cipta kerja. Pertama, kelompok atau organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan sejak awal proses pembahasan. Padahal, substansi RUU Cipta Kerja sangat relevan berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.

“Usulan yang diajukan organisasi penyandang disabilitas berupa inisiatif mandiri agar dilibatkan dalam pembahasan. Sayangnya Baleg DPR dan pemerintah mengacuhkan usulan tersebut dengan tidak mengakomodir dalam draf yang terpublikassi di masyarakat 1 hari sebelum sidang paripurna,” kata Fajri.

Kedua, UU “sapu jagat” itu tak harmonis, apalagi sinkron dengan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Ketiga, UU Cipta Kerja dinilai telah melakukan “kejahatan epistemik" dengan masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas. Menurut Fajri, paradigma cacat amat bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mendorong terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas.

Istilah “cacat” sebagaimana tertuang dalam banyak pasal dalam beberapa UU yang terdampak dari UU Cipta Kerja. Seperti revisi Pasal 46 UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; revisi Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; penambahan Pasal 153 dan Pasal 154a UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kemudian penjelasan dari revisi Pasal 138 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 UU No. 8 tahun 2016. Pasal 148 menyebutkan, “Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini”.

Tags:

Berita Terkait