ILUNI UI Desak Presiden Jokowi Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja
Utama

ILUNI UI Desak Presiden Jokowi Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja

Selain substansi bermasalah, penyusunan, pembahasan, dan pengesahan RUU Cipta Kerja dilakukan secara terburu-buru, tidak transparan, minim sosialisasi, dan minim penyerapan aspirasi masyarakat serta tidak sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi penerbitan Perppu. Hol
Ilustrasi penerbitan Perppu. Hol

Sorotan tajam terhadap persetujuan atas RUU Cipta Kerja terus bergulir, tak hanya di kalangan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil lainnya, tapi juga komunitas kalangan akademik. Salah satunya Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI). Setelah membahas secara detail draf RUU Cipta Kerja yang beredar setelah disetujui melalui paripurna DPR, kelompok kerja (Pokja) ILUNI UI menghasilkan sejumlah catatan kritis.

Anggota Tim Pokja, Asfinawati, mengatakan pembahasan RUU Cipta Kerja sejak awal disusun dan dibahas tidak transparan, begitu pula ketika disahkan dalam rapat paripurna DPR. Dia yakin tidak ada naskah final yang dipegang anggota DPR dalam rapat tersebut. Dari hasil kajian Pokja ILUNI UI terhadap draft final RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat setelah pengesahannya di rapat paripurna DPR, Asfin menyebutkan sedikitnya ada 7 kesimpulan.

Pertama, proses penyusunan, pembahasan, dan pengesahan RUU Cipta Kerja dilakukan secara terburu-buru, tidak transparan, minim sosialisasi, dan minim penyerapan aspirasi masyarakat, serta tidak sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedua, perubahan pendekatan perizinan menjadi pendekatan berbasis risiko tanpa memperhatikan kemampuan lembaga, sumber daya manusia (SDM), dan kelengkapan sistem yang ada berpotensi mempercepat kerusakan lingkungan, terganggunya kesehatan masyarakat, dan situs budaya/adat, serta meningkatkan ketidakpastian usaha.

“RUU Cipta Kerja mengakibatkan demokrasi di Indonesia bergerak mundur. Menimbulkan risiko cengkraman korupsi, sehingga kesejahteraan rakyat berkurang,” kata Asfinawati dalam diskusi secara daring bertema “RUU Cipta Kerja” yang digelar ILUNI UI, Senin (12/10/2020). (Baca Juga: Dinilai Cacat Formil-Materil, Presiden Diminta Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja)

Ketiga, penyederhanaan perizinan dan pemberian insentif yang berlebihan kepada sektor energi dan tambang, khususnya batubara, berpotensi menghilangkan pendapatan negara, kerusakan lingkungan akibat over eksploitasi dan hilangnya hak-hak masyarakat dalam jangka panjang. Keempat, penarikan wewenang perizinan dan pengelolaan SDA dari daerah ke pusat adalah bentuk resentralisasi kewenangan. Hal ini bertentangan dengan amanat reformasi mengenai otonomi daerah, berpotensi meningkatkan kesenjangan pusat dan daerah serta mengancam proses demokrasi yang sehat.

Kelima, banyaknya peraturan pelaksana yang dimandatkan UU Cipta Kerja dan harus selesai dalam waktu 3 bulan. Ini berpotensi menambah beban dan kompleksitas aturan, kontraproduktif dengan agenda reformasi penataan regulasi. Keenam, UU Cipta Kerja memuat pasal yang berpotensi mengurangi hak buruh termasuk hak dan perlindungan buruh perempuan serta merugikan kesejahteraan buruh.

Tags:

Berita Terkait