Menguak Cacat Formil UU Cipta Kerja
Kolom

Menguak Cacat Formil UU Cipta Kerja

UU ini disusun tidak dalam kelaziman penyusunan perundang-undangan yang bersifat teknokratik. Maka berpotensi cacat secara formil.

Bacaan 4 Menit
Agus Riewanto. Foto: Istimewa
Agus Riewanto. Foto: Istimewa

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang disetujui DPR (5/10/2020) kemarin menjadi Undang-Undang (UU) menuai kritik dan penolakan dari publik dalam berbagai bentuk ekspresi. Karena substansi materi UU terdiri dari 905 halaman dan 186 Pasal ini hanya akan menguntungkan elit politik dan pengusaha.

UU ini juga lebih mengutamakan logika ekonomi belaka agar investor mudah dan leluasa menanamkan modal. Akibatnya, DPR dan presiden dikendalikan para pengusaha dalam mendesain UU ini untuk memasukan agenda kepentingan terselubung (hiden interest agenda).

Proteksi Investor Berlebihan

Jika tujuan UU Ciptaker ini untuk memudahkan investor menanamkan modal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan dengan cara yang logis dan tidak potong kompas mungkin masih dapat dibenarkan. Misalnya, memangkas prosedur perizinan yang berbelit, menyederhanakan sistem birokrasi kemudahan berusaha, memperbaiki tata kelola pemerintahan antikorupsi dan suap. Bukan dengan cara membuat UU Ciptaker yang isinya secara instan memfasilitasi keinginan investor dengan proteksi yang berlebihan.

Akibatnya UU ini merendahkan martabat pekerja, tanpa memerperhatikan analisis dampak lingkungan (Amdal), hak-hak pekerja dan mencomot dengan serampangan 76 UU dalam berbagai sektor tanpa kajian mendalam untuk dinormakan dalam UU Ciptaker dalam bentuk teknik Omnibus Law akibatnya dengan jumlah pasal dan ayat dalam UU ini spektakuler dalam sejarah UU di Indonesia.

Cacat Formil

Secara formil atau tata cara pembuatannya sesungguhnya UU Ciptaker yang terdiri dalam 15 bab itu diambil berbagai UU sektoral ini sulit diterima akal sehat. Model Omnibus Law sebagai pilihan caranya pun belum dikenal dalam sistem pembentukan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur ke dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya UU ini disusun tidak dalam kelaziman penyusunan perundang-undangan yang bersifat teknokratik. Maka berpotensi cacat secara formil.

Sebenarnya teknis pembentukan produk UU telah diatur rigid dalam UU No. 12 Tahun 2011, yakni dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. UU Ciptaker ini dibuat tidak mengikuti prosedur teknokratik sejak dari perencanaannya yang sangat tertutup tanpa pelibatan partisipasi publik dan lebih mempercayakan pelibatan dari para pengusaha dan elit politik. Padahal dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perencanaan dan penyusunan sangat esensial, karena sesungguhnya dalam perencanaan dan penyusunan inilah secara teknik UU ini akan diarahkan pada tujuan tertentu politik hukumnya.

Tanpa Partisipasi Publik

Dalam tahap perencanaan dan penyusunan ini diperlukan pelibatan dan partisipasi publik yang luas dan beragam dari berbagai latar terutama subjek hukum (adresat) yang hendak dikenai dari UU ini, yakni pekerja atau buruh dan para pemangku kepentingan (stakeholders).

Tags:

Berita Terkait