Mengabaikan Nurani
Editorial

Mengabaikan Nurani

Kini, bola ada di Presiden Joko Widodo. 

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Meski telah disahkan, Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menyisakan persoalan. Penyusunan dan pembahasan yang diam-diam semakin membuat suram wajah pengaturan. Akibatnya, pengesahan diwarnai beragam aksi penolakan dari sejumlah elemen, mulai mahasiswa, buruh hingga masyarakat sipil. Apalagi, sejumlah substansi ditengarai banyak menguntungkan pelaku usaha dan merugikan para pekerja.

Bagian yang paling lucu adalah ketika tuntutan masyarakat agar pembahasan lebih transparan malah tidak digubris. Beragam pembahasan dilakukan inisiator dan regulator tanpa harus melek masukan masyarakat sebagai pihak yang akan menjalankan aturan. Ujungnya, sidang paripurna tetap mengesahkan UU Cipta Kerja, tapi banyak versi draf UU yang beredar.

Setidaknya hingga sekarang terdapat lima draf UU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat; Naskah UU versi 1028 halaman (Februari 2020); Naskah UU versi 905 halaman (5 Oktober 2020); Naskah UU versi 1052 halaman (9 Oktober 2020); Naskah UU versi 1035 halaman (11 Oktober 2020) dan Naskah UU versi 812 halaman (12 Oktober 2020). Beragamnya versi diduga karena banyak koreksi dalam naskah yang telah diketok. Ini bukti kuat pembahasan yang terburu-buru dan dilahirkan secara prematur.

Dari kelima naskah tersebut DPR telah memastikan versi 812 halaman adalah yang final. Namun, sebelumnya DPR juga telah menyatakan bahwa versi 1035 juga final. Intinya mana yang paling final? Naskah mana pula yang dijadikan rujukan Kepolisian menetapkan seseorang sebagai tersangka hoax substansi UU Cipta Kerja? Ini juga masuk dalam bagian lucu lainnya. Karena penetapan tersangka terjadi sebelum ada kepastian dari regulator mengenai draf UU yang benar lantaran masih dalam tahap pembetulan teknis, seperti typo maupun format penulisan.

Belum lagi proses pengambilan keputusan di paripurna yang tidak memberikan naskah final UU Cipta Kerja kepada para anggota dewan, semakin menambah pertanyaan. Biasanya, pengambilan keputusan pengesahan sebuah UU di paripurna, diikuti dengan pembagian naskah UU terkait, khusus UU Cipta Kerja kebiasaan ini tak berlaku.

Proses lainnya pada saat adanya dua fraksi yang tidak menyetujui UU Cipta Kerja. Pasal 164 ayat (2) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib menyebutkan bahwa, jika tidak tercapai secara musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan di rapat paripurna, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak. Ini bertolak belakang dengan kejadian sesungguhnya, proses pengesahan tidak melalui voting atau suara terbanyak meski dua fraksi menolak RUU Cipta Kerja di paripurna.

Kini, bola ada di Presiden Joko Widodo. Sebagai pemimpin negara, Presiden Jokowi memiliki peran besar untuk menentukan persoalan ini menjadi lebih suram dengan mengundangkan aturan tersebut atau cerah melalui penerbitan Perppu Pencabutan UU. Dukungan publik terhadap UU Cipta Kerja sangat rendah. Ini terlihat dari dua ormas keagamaan terbesar menolak tegas UU ini. Sebagian lagi kaum intelektual atau kampus menyerukan penerbitan Perppu pencabutan.

Jangan sampai UU Cipta Kerja menjadi warisan buruk pemerintahan yang akan selalu diingat masyarakat. Seperti ibarat sudah jatuh ketiban tangga, menjadi peribahasa cocok bagi masyarakat karena harus bertahan di tengah pandemi, tapi dihimpit aturan yang mengabaikan nurani.

Tags:

Berita Terkait