Melihat Masa Depan Industri Batubara Nasional Akibat Proses Transisi Energi
Berita

Melihat Masa Depan Industri Batubara Nasional Akibat Proses Transisi Energi

Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait, untuk mulai penyusunan peta jalan transisi batubara nasional untuk dapat menekan dampak risiko ekonomi dan sosial di masa mendatang.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES

Berdasarkan data terakhir BP Statistical Review of World Energy, cadangan terbukti (proven reserve) batubara nasional di akhir tahun 2019 mencapai 39,9 miliar ton (atau sebanyak 3,7% dari total cadangan dunia) yang didominasi oleh batubara kalori menengah dan rendah masing-masing sebanyak 62% dan 38%. Dalam satu dekade terakhir (2010-2019), 80-88% produksi batubara nasional di ekspor sebagian besar ke Tiongkok (27%), India (26%), Korea Selatan (10%), Jepang (9%), dan Taiwan (7%)  untuk menyuplai PLTU di negara-negara ini.

Dari perspektif lainnya, peran batubara ini justru mengindikasikan kerentanan yang tinggi dari industri yang sangat bergantung kepada perkembangan tren PLTU global, dan khususnya di kelima negara tujuan ekspor tersebut. Transisi energi, yang didorong oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan, tekanan publik untuk mengendalikan polusi udara, dan tekanan global untuk mengatasi perubahan iklim, akan mendisrupsi status quo dari batubara, yang cepat atau lambat, akan berdampak pada keberlangsungan industri batubara di tanah air.

Di dalam negeri, 82% konsumsi batubara nasional sepanjang periode 2019, digunakan untuk membangkitkan listrik dari PLTU di Jawa dan Sumatera. Dari statistik ini, jelas menunjukkan bahwa batubara memiliki peranan penting dalam perekonomian dan sektor kelistrikan Indonesia.Namun sejak 2006, tren perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) global, yang selama ini menjadi konsumen terbesar industri batubara, sudah mulai mengalami penurunan yang utamanya karena faktor perubahan iklim dan polusi serta keekonomian teknologi alternatif dari energi terbarukan yang sudah semakin kompetitif.

Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry, yang diluncurkan pada Selasa (13/10) menyoroti perkembangan dan tren transisi energi terbarukan, khususnya di berbagai negara tujuan ekspor batubara Indonesia dan di Indonesia, yang ternyata berimplikasi terhadap perkembangan industri batubara dan sistem ketenagalistrikan nasional. (Baca Juga: Dorong Pemanfaatan EBT, Pangsa Pasar Energi Terbarukan Terus Diperluas)

Menurut studi ini, semua skenario proyeksi permintaan batubara Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan di tahun-tahun yang akan datang. Jika strategi transisi batubara nasional tidak mulai dibangun dan dipersiapkan sejak dini, maka keberlanjutan dari industri yang sangat bergantung pada pertumbuhan PLTU global dan domestik ini menjadi semakin rawan dan berpotensi menimbulkan kerugian/biaya yang besar di masa mendatang.

Karena itu kebijakan responsif pemerintah untuk menggenjot produksi batubara domestik, mengembangkan industri hilir, dan membangun PLTU dengan clean coal technology dinilai justru mengindikasikan terciptanya berbagai problematika baru, seperti terjebak di satu teknologi tertentu (technology lock-in) dan meningkatkan potensi aset terdampar (stranded asset) di masa depan.

IESR menyerukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan dan perencanaan energi Indonesia terkait batubara, serta bersama industri-industri batubara besar di tanah air untuk dapat segera menyusun peta jalan transisi batubara nasional, yang tentunya harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.

Tags:

Berita Terkait