Jaksa Agung: RUU Kejaksaan Momentum Bagi Kejaksaan untuk Lebih Baik
Berita

Jaksa Agung: RUU Kejaksaan Momentum Bagi Kejaksaan untuk Lebih Baik

Kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi dan sistem ketatanegaraan perlu diperjelas.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Jaksa Agung ST Burhanuddin saat memberikan sambutan dalam diskusi RUU Kejaksaan yang diselenggarakan PJI Sulsel dan Pusat Kajian Kejaksaan FH Unhas, Rabu (14/10). Foto: MYS
Jaksa Agung ST Burhanuddin saat memberikan sambutan dalam diskusi RUU Kejaksaan yang diselenggarakan PJI Sulsel dan Pusat Kajian Kejaksaan FH Unhas, Rabu (14/10). Foto: MYS

Revisi atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan suatu keniscayaan karena banyak perubahan yang terjadi di lapangan. Pada masa pandemi Covid-19 saja terjadi perubahan tata cara persidangan setelah sistem persidangan daring diakomodasi. Belum lagi perubahan yang terjadi terhadap KUHAP, dan urgensi mengadopsi sejumlah traktat atau konvensi internasional.

Jaksa Agung, ST Burhanuddin, mengatakan penyusunan RUU Kejaksaan, yang akan menggantikan UU No. 16 Tahun 2004 adalah momentum yang pas untuk mendorong Kejaksaan untuk berbuat lebih baik. “Perubahan adalah keniscayaan. Demikian juga dalam perundang-undangan,” kata Jaksa Agung saat memberikan sambutan dalam webinar ‘Penegakan Hukum yang Berkualitas dan Berkeadilan Melalui RUU Kejaksaan’ yang diselenggarakan Persatuan Jaksa Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan dan Pusat Kajian Kejaksaan FH Universitas Hasanuddin, Makassar, Rabu (14/10).

Menurut Burhanuddin, UU No. 16 Tahun 2004 termasuk yang perlu diperbarui mengingat banyak aspek hukum yang berkembang. Selain persidangan secara daring, ada pergeseran paradigma keadilan, dari semula yang sangat mengedepankan keadilan retributif (penghukuman) ke arah keadilan restoratif. Salah satu kebijakan yang sudah dikeluarkan adalah Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ia juga menyinggung tata kelola penanganan perkara sehingga berkas perkara penyidikan tidak bolak balik antara penyidik dan jaksa.

Penyesuaian juga harus dilakukan terhadap sejumlah ketentuan internasional mengenai profesi jaksa. Termasuk di dalamnya perlindungan bagi jaksa dalam melaksanakan tugas. Burhanuddin mengingatkan tugas jaksa bukan hanya yang diatur dalam KUHAP, tetapi juga yang diatur dalam perundang-undangan lain. Misalnya dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme, pencucian uang, hak asasi manusia, dan fungsi intelijen hukum. Di dunia internasional dikenal antara lain United Nations Guideline on the Role of Prosecutors. Itu sebabnya, ia berharap perubahan UU Kejaksaan dapat dijadikan momentum bagi Kejaksaan untuk menjadi lebih baik.

(Baca juga: Jaksa dan Keluarga akan Mendapat Perlindungan Hukum).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Farida Patittingi, menyebut tiga urgensi perubahan UU Kejaksaan. Secara filosofis, UU Kejaksaan harus bisa menjadi instrumen penegakan hukum dan keadilan sesuai Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini penting mempertegas kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi dan sistem hukum nasional. Secara yuridis, perlu penguatan kedudukan dan kewenangan Kejaksaan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara sosiologis, kejaksaan harus lebih responsif, adaptif dan profesional dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum dalam masyarakat. Persoalan hukum yang terjadi semakin kompleks dan membutuhkan penyelesaian yang cepat.

Kejelasan Status

Badan Legislasi DPR telah berinisiatif menyusun RUU Kejaksaan. Naskahnya sudah disusun dan sudah beberapa kali dibahas. Salah satu masalah krusial dalam RUU yang banyak disinggung adalah ketidakjelasan status Kejaksaan dalam konstitusi dan sistem ketatanegaraan. Di satu sisi, Kejaksaan ikut menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dalam arti luas. Di sisi lain, Kejaksaan adalah bagian dari eksekutif, Jaksa Agung dipilih dan diberhentikan oleh Presiden. Farida menyebutnya ‘berada di dua kaki’.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Pujiono, mengatakan kejelasan status Kejaksaan dalam konstitusi sangat penting dalam revisi UU No. 16 Tahun 2004. Menurutnya, revisi UU Kejaksaan perlu mengatur reformasi kelembagaan dan reformasi fungsi kelembagaan.

(Baca juga: Begini Arah Pengaturan RUU Kejaksaan).

Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan ‘badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Jika Kejaksaan dilihat dalam konteks rumusan konstitusi ini, timbul ambiguitas. Di satu sisi Kejaksaan dipandang sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah kekuasaan yudikatif, dan di sisi lain Kejaksaan justru secara tegas dalam Undang-Undang ditempatkan di bawah kekuasaan eksekutif.  

Guru Besar FH Universitas Hasanuddin Makassar, HM Said Karim, berpendapat revisi UU Kejaksaan juga perlu menempatkan Kejaksaan sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu agar tujuan sistem peradilan pidana secara umum tercapai. Revisi UU Kejaksaan tidak semata-mata menambah, dan melengkapi kewenangan Kejaksaan, tetapi juga perlu mendapat penerimaan dari masyarakat, termasuk subsistem lain seperti kepolisian, advokat, dan kekuasaan kehakiman.

Tags:

Berita Terkait