Potensi Pelanggaran Data Pribadi via Kebijakan Perekaman Data Pengunjung Sarana Publik
Berita

Potensi Pelanggaran Data Pribadi via Kebijakan Perekaman Data Pengunjung Sarana Publik

Contact tracing memang diperlukan dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19, tetapi mekanisme tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak atas privasi.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 3 Menit
Pengunjung sarana publik. Foto ilustrasi: RES
Pengunjung sarana publik. Foto ilustrasi: RES

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi sejak Senin (12/10) lalu. Bersamaan dengan itu, Gubernur DKI mengeluarkan kebijakan perekaman data pribadi pengunjung pusat perbelanjaan. Pendataan ini bertujuan untuk memudahkan penelusuran kontak suspek pasien Covid-19 jika terjadi transmisi.

Meskipun dilakukan dengan alasan kesehatan publik, dari sisi yang lain kebijakan bisa dinilai akan menambah daftar panjang potensi dan risiko penyalahgunaan data pribadi. Situasi itu menjadi makin rentan dengan belum adanya hukum pelindungan data pribadi yang mampu menjamin transparansi dan akuntabilitas atas setiap pemrosesan data pribadi.

Teknologi memang menjadi salah satu tumpuan utama dalam penanganan Covid-19, mulai dari pembuatan aplikasi penelusuran, aplikasi karantina rumah yang memantau pergerakan suspek atau pasien positif Covid-19, hingga penerapan kategorisasi berdasarkan warna untuk menentukan apakah seseorang harus melakukan karantina atau tidak.

Hal serupa juga dikembangkan pemerintah Indonesia, dengan penggunaan aplikasi PeduliLindungi, juga pembatasan pengunjung melalui pendaftaran dan perekaman data pribadi dengan sistem QR code scanning di berbagai gedung dan pusat perbelanjaan. Bahkan sejumlah pemerintah juga mengembangkan aplikasi serupa dengan PeduliLindungi. (Baca Juga: Anies Tetapkan DKI Jakarta Kembali ke PSBB Transisi)

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyud Djafar, menjelaskan problem dari kebijakan yang baru dirilis oleh Pemerintah DKI adalah, mengharuskan perekaman enam digit Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor telepon seluler pengunjung sarana dan prasarana publik. Kebijakan ini juga mencatat waktu kedatangan dan kepulangan pengunjung, dengan tujuan untuk mempermudah penelusuran kontak suspek COVID-19 terhadap pasien yang telah dinyatakan positif.

Sementara NIK adalah elemen data pribadi yang saat ini menjadi instrumen utama untuk mengidentifikasi seseorang. Ketika seseorang ingin mendapatkan akses layanan publik, NIK menjadi persyaratan utama untuk memperoleh layanan itu. “Kombinasi NIK dan nomor telepon seluler, yang serupa dengan proses registrasi SIM Card, akan kian memudahkan dalam identifikasi seseorang,” terang Wahyudi dalam keterangannya, Rabu (14/10).

Problem lain dari kebijakan ini adalah tidak adanya rujukan hukum perlindungan data pribadi yang memadai, juga menjadikan ketidakjelasan kewajiban dari penyedia sarana dan prasarana publik, dalam pemrosesan data pribadi. Pertanyaan mendasar dari hal ini adalah penyedia sarana dan prasarana publik merupakan pengendali atau kah prosesor data pribadi?

Tags:

Berita Terkait