Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati
Kolom

Menampik Logika Sembrono Soal Putusan MK Tak Wajib Ditaati

Tidak sesederhana itu membaca dan memaknai fakta dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU 7/2020.

Bacaan 7 Menit
Fajar Laksono. Foto: RES
Fajar Laksono. Foto: RES

Kira-kira beberapa hari terakhir ini, mencuat narasi dan opini di tengah-tengah publik. Marak dan berepisentrum di media sosial. Narasi tersebut berkaitan dengan ‘dihapusnya’ Pasal 59 ayat (2) dalam (revisi) UU tentang Mahkamah Konstitusi. Itu sebagaimana yang kini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020).

Ada sejumlah pihak mengira, atau malah menuding, bahwa dihapusnya pasal tersebut diartikan bahwa DPR dan Presiden tak lagi wajib menindaklanjuti putusan MK atas pengujian UU. Opini itu dikait-kaitkan dengan wacana pengajuan uji materiil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sontak, beritanya merebak muncul di mana-mana, termasuk di media-media mainstream.

Entah benar entah tidak, narasi itu konon bermula dari paparan seseorang dalam penggalan video yang diunggah dan di-share ke banyak pengguna media sosial. Seorang teman mengirimkan video itu ke gadget saya. Dalam video itu, seseorang berkemeja biru muda tengah menyampaikan pendapatnya dalam suatu acara webinar. Ia sampaikan kira-kira begini.

Bersama teman-temannya yang ahli hukum, ia berniat mengajukan judicial review UU Cipta Kerja ke MK. Namun, belakangan ia urungkan niat itu usai memeroleh naskah UU 7/2020. Dibacanya, lalu ketemu Pasal 59 ayat (2) yang tertera di situ “Dihapus”. Ia bacakan norma asal sebelum dihapus. Pasal 59 ayat (2) itu mulanya berbunyi: Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Mendapati hal itu, diutarakan pendapat dan kesimpulannya dalam webinar itu. Katanya, pendapat dan kesimpulan itu diperoleh usai berkonsultasi dengan pakar hukum. Menurutnya, dengan dihapusnya Pasal 59 ayat (2) itu, kalaupun menang judicial review di MK, tidak ada kewajiban dari DPR dan Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan itu. Jadi menurutnya, percuma mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke MK. Maka sarannya, alternatif paling rasional ialah mendorong terus Presiden terbitkan Perppu dengan desakan yang lebih besar.

Saya paham, terkait mengajukan atau tidak mengajukan permohonan judicial review ke MK, itu urusannya. Pun untuk menyerukan Presiden terbitkan Perpu, itu juga haknya. Bagi saya, itu kebebasan berpendapat yang harus dijunjung tinggi. Tetapi persoalannya, ada kekeliruan mendasar dari pendapat dan kesimpulan yang disampaikan. Maka, penting kiranya mendudukkan secara jernih persoalan itu pada kesemestian dan kebenaran obyektifnya.

Mengapa Pasal 59 ayat (2) Dihapus? 

Benar adanya, dalam UU 7/2020, tepatnya pada angka 14 dinyatakan, Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus. Dari semula terdiri atas dua ayat, Pasal 59 tinggal satu ayat saja, yakni Pasal 59 ayat (1). Pada titik ini menjadi penting untuk memahami dengan cermat latar yuridis dihapusnya norma Pasal tersebut. Supaya siapapun tak menarik kesimpulan dari oleh logika yang sembrono dan serampangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait