Mendorong Penguatan Instrumen Penegakan Pidana Ketenagakerjaan
Berita

Mendorong Penguatan Instrumen Penegakan Pidana Ketenagakerjaan

Ada tiga sebab penindakan pidana ketenagakerjaan mandek yakni jumlah penyidik kepolisian tidak sebanding dengan perkara yang ditangani, tidak ada hukum formil penegakan pidana ketenagakerjaan, pemahaman aparat kepolisian terhadap pidana ketenagakerjaan tergolong minim.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi sejumlah organisasi serikat pekerja yang tidak boleh dihalang-halangi. Foto: SGP/Hol
Ilustrasi sejumlah organisasi serikat pekerja yang tidak boleh dihalang-halangi. Foto: SGP/Hol

Beragam regulasi memuat ketentuan yang mengatur pidana perburuhan, antara lain Pasal 184 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta.

Sanksi itu diberikan kepada pihak yang melanggar ketentuan Pasal 167 ayat (5) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang intinya memberikan kompensasi pesangon sebesar dua kali ketentuan terhadap buruh yang diputus hubungan kerja (PHK) karena masuk masa pensiun.

Sanksi pidana juga diatur dalam UU lain, seperti Pasal 43 UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh yang mengancam pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta bagi pihak yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pasal 28.

Pasal 28 UU No.21 Tahun 2000 melarang siapapun menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh. Sayangnya dalam praktik penegakkan pidana perburuhan itu seolah mandek atau kurang efektif dilaksanakan.  

Sekjen Federasi Serbuk, Khamid Istakhori, mengatakan desk pidana ketenagakerjaan yang ada di Polda Metro Jaya tidak berjalan sesuai harapan karena fungsinya sekedar konsultasi hukum. Bahkan, desk ketenagakerjaan ini malah membuat proses semakin panjang karena aparat biasanya meminta pelapor menunjukkan 2 bukti baru jika ingin kasusnya berlanjut. Padahal pembuktian itu harus dicari dan ditelusuri oleh Polri, bukan dibebankan kepada buruh yang melapor.

“Desk ketenagakerjaan ini hanya ruangan fisik dan substansinya tidak menunjukkan ada penanganan khusus untuk bidang ketenagakerjaan,” kata Khamid dalam peluncuran kertas kebijakan secara daring bertema “Urgensi Pembentukan Sub Direktorat Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan di Polri”, Rabu (14/10/2020). (Baca Juga: Penegakan Pidana Perburuhan Lemah)

Khamid mengusulkan agar dibentuk Sub Direktorat Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan di setiap Polres baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pembentukannya harus dilandasi regulasi yang kuat. Selain itu, setiap lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) perlu menerbitkan ketentuan yang mengatur hukum formil penanganan pidana ketenagakerjaan.

Tags:

Berita Terkait