UU Cipta Kerja Dinilai Jauh dari Prinsip Good Governance
Berita

UU Cipta Kerja Dinilai Jauh dari Prinsip Good Governance

Kurangnya transparansi hingga minimnya ruang partisipasi publik dalam pembuatan UU Cipta Kerja ini. Problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik yakni ketegasan penegakan hukum, dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Pemerintah tengah mensosialiasikan materi muatan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja ke berbagai elemen masyarakat. Di sisi lain, gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja masih terus disuarakan elemen masyarakat. Salah satu hal yang disoroti proses terbitnya UU Cipta Kerja ini dianggap jauh dari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik alias good governance.

Manager Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko melihat mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat, khususnya bagi aset strategis yang sebelumnya diatur dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dihilangkan melalui UU Cipta Kerja. Terdapat banyak jenis aset negara dan BUMN dengan nilai strategis dapat berpindah-tangan ke pihak lain. Bahkan, kehilangan status sebagai aset negara.

“Aset-aset negara tersebut berpotensi hilang dan LPI tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara tersebut,” kata Wawan Suyatmiko dalam keterangannya, Senin (19/10/2020). (Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Memperlebar Korupsi dan Menjauhkan Ekonomi Berkelanjutan)

Begitupula pembuatan UU Cipta Kerja, mulai perumusan di pemerintah hingga proses peembahasan di DPR tak lepas dari kontroversi. Apalagi minim melibatkan partisipasi masyarakat. Terlebih, keterlibatan berbagai pihak sebagai tim inti perumus materi UU Cipta Kerja yang tidak lepas dari konflik kepentingan.

“Bagaimana mungkin pemerintah dapat mengklaim punya semangat antikorupsi apabila dalam berbagai praktek kebijakan, mereka menegasikan berbagai prinsip penting dari tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.

Padahal dalam mengukur tata kelola pemerintahan yang baik dimulai dengan adanya transparansi dalam hal pembuatan kebijakan. Kemudian adanya partisipasi yang luas bagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Serta adanya akuntabilitas. Melalui prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, seharusnya tercermin dalam UUU Cipta Kerja mulai tahap penyusunan hingga pengesahan.

Terhadap hal itu, pemerintah seolah menggunakan politik gelang karet dalam pemberantasan korupsi. Yakni agenda pemberantasan anti korupsi bakal diterapkan bila memberikan kontribusi langsung bagi perbaikan sektor ekonomi, serta  tidak menimbulkan konflik antar elit.  “Selebihnya, konsekuensi yang merugikan  elit pemerintah dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi dihindari,” katanya.

Tags:

Berita Terkait