Dua Pasal UU Cipta Kerja Sektor Pertambangan Ini Dinilai Bermasalah
Berita

Dua Pasal UU Cipta Kerja Sektor Pertambangan Ini Dinilai Bermasalah

Yakni Pasal 128A dan Pasal 162 UU Cipta Kerja karena insentif royalti 0 persen bagi perusahaan tambang yang melakukan hilirisasi berpotensi menurunkan pendapatan pemerintah terutama pemerintah daerah. Dan memperkuat pasal kriminalisasi terhadap rakyat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Pemerintah terus melakukan pendekatan ke berbagai organisasi masyarakat untuk melakukan sosialisasi draf UU Cipta Kerja. Di sisi lain, gelombang demonstrasi yang menolak UU Cipta Kerja terus disuarakan organisasi serikat buruh/pekerja, mahasiswa, dan elemen masyarakat lain. Sebab, baik dari cara pembentukan dan susbtansinya dinilai bermasalah. Misalnya, UU Cipta Kerja berdampak terhadap 76 UU, salah satunya UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Koordinator Jatam, Merah Johansyah, mencatat dalam draf final UU Cipta Kerja yang berjumlah 812 halaman ada dua pasal bermasalah. Pertama, UU Cipta Kerja mengubah UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba dengan menyisipkan Pasal 128A. Kedua, UU Cipta Kerja merevisi Pasal 162 UU Minerba.

Di antara Pasal 128 dan 129 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba disisipkan 1 pasal yakni Pasal 128A ayat (2) berbunyi: “Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).” Ayat (3) berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Ketentuan Pasal 162 UU Minerba diubah, sehingga berbunyi: “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana 148 dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Merah menjelaskan Pasal 128A UU Cipta Kerja memuat ketentuan yang intinya memberikan insentif berupa pengenaan royalti 0 persen bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara. Dia melihat pasal ini memberi keuntungan bagi pelaku tambang batu bara yang melakukan hilirisasi. Menurutnya, selama ini royalti merupakan bagian dari pendapatan negara yang diterima dari perusahaan tambang batu bara. Sebagian royalti itu masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme dana bagi hasil (DBH).

Jatam mencatat DBH yang diperoleh provinsi Kalimantan Barat dari royalti itu sebesar Rp9 triliun tahun 2019; Kalimantan Selatan Rp6 triliun; Papua Rp3 triliun; dan Sumatera Selatan Rp2,5 triliun. Jika insentif berupa pengenaan royalti 0 persen ini berlaku, maka pemerintah daerah yang memiliki tambang batu bara berpotensi merugi karena pendapatannya berkurang drastis.

“Royalti ini merugikan pemerintah pusat dan daerah. Ini artinya sama saja tambang batu bara gratis karena royalti yang dikenakan 0 persen, tapi eksploitasi 100 persen,” kata Merah Johansyah ketika dihubungi, Selasa (20/10/2020). (Baca Juga: Siapkan 5 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, Kementerian ATR/BPN Minta Masukan Masyarakat)

Tags:

Berita Terkait