Ada Kekhawatiran UU Cipta Kerja Hanya Jaga Kepentingan Elite Bisnis
Berita

Ada Kekhawatiran UU Cipta Kerja Hanya Jaga Kepentingan Elite Bisnis

Pasal-pasal yang ada di UU Cipta Kerja dikhawatirkan bisa menjadi blunder bagi kepentingan investasi.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Kritikan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja masih bermunculan dari berbagai kalangan. UU ini dianggap masih berpihak pada kepentingan elit bisnis dan belum berpihak terhadap masyarakat secara luas. Sementara itu, proses penyusunan UU Cipta Kerja yang tidak transparan sejak awal juga menjadi alasan penolakan publik.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, menilai penyusunan UU Cipta Kerja masih menggunakan paradigma lama sehingga cenderung memperkuat kepentingan elit bisnis yang bisa merusak lingkungan dan eksploitatif terhadap kemanusiaan. Menurutnya, paradigma lama tersebut berjalin kelindan dengan kepentingan elit politik dan elit kaya di Indonesia sebagai agennya. 

“Ini satu kemunduran jika ditinjau dari berbagai indikator kepentingan strategis nasional. Baik itu bagi kepentingan penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan dan untuk ciptakan kemandirian ekonomi,” jelas Suroto, Selasa (20/10). 

Dia menerangkan paradigma pembangunan dunia saat ini mengarah pada penciptaan pembangunan berkelanjutan, perang terhadap kerusakan lingkungan dan penolakan eksploitasi kemanusiaan. Namun, paradigma UU Cipta Kerja justru menabrak paradigma tersebut. (Baca: Sanksi Administrasi Pajak di UU Cipta Kerja Disesuaikan dengan Tingkat Suku Bunga)

“Menyimak pasal-pasalnya, Ini akan jadi blunder bagi kepentingan investasi itu sendiri karena melihat dari fungsi delegasi kewenangan yang memberikan diskresi kebijakan terlalu luas pada pemerintah. Diskresi yang longgar ini akan berpotensi ciptakan ketidakpastian hukum dan birokrasi lapangan yang akan semakin rumit, bukan untuk memperbaikinya,” papar Suroto.

Tidak hanya itu, Suroto juga mengatakan UU ini cenderung berbasis modal atau invesment driven yang mengandalkan investasi asing bukan berbasis manusia. Hal tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintahan yang menyasar komoditi ekstraktif dan kebijakan lanjutan dari penciptaan pembangunan infrastruktur.

“UU Ciptaker ini satu paket dari kebijakan lama. Jebakkan masuk pada ketergantungan utang haram yang dikomitmenkan bangun faktor pendukunga bagi investasi asing, investasi asing yang akan merangsek lebih dalam di komoditi ekstraktif yang akan merusak lingkungan dan serobot tanah rakyat lebih luas, pengendalian harga secara ologopsoni dan terakhir sasaranya adalah pada jebakkan konsumsi yang saat ini sebetulnya sudah terlihat rentan karena ketergantungan terhadap importasi yang tinggi,” tegas Suroto.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait