Pemeriksaan Setempat dalam Acara Perdata
Kolom

Pemeriksaan Setempat dalam Acara Perdata

Instrumen penting namun minim pengaturan.

Bacaan 6 Menit
Bagus Sujatmiko. Foto: Istimewa
Bagus Sujatmiko. Foto: Istimewa

Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui di tahun 2020 ini genap berusia 172 (seratus tujuh puluh dua) tahun, begitu juga dengan dasar hukum acara perdata lainya seperti Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg) atau Reglemen Hukum Daerah Seberang (di luar Jawa Madura) dan Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv) yang keduanya juga telah berusia kurang lebih satu abad. Ketiga dasar hukum tersebut adalah peninggalan Belanda yang sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan melaksanakan persidangan dalam quasi perdata.

Umurnya memang cukup “Sepuh” namun terbukti masih “awet muda” hingga kini. Namun ternyata usia tidak membuatnya menjadi hukum acara yang sempurna. Masih banyak ketentuan dari HIR/Rbg dan Rv yang membutuhkan penjelasan, salah satunya terkait Pemeriksaan Setempat (PS) atau Gerechtelijke Plaatsopneming.

Minimnya pengaturan PS pada akhirnya menimbulkan permasalahan antara lain terkait tata cara pelaksanaannya dan penggunaan hasil PS dalam pengambilan putusan. Padahal apabila kita melihat perkembangan saat ini, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 (SEMA 7/2001) perkara yang menyangkut objek tidak bergerak harus dilakukan PS. Konsekuensinya jika tidak dilaksanakan dapat menyebabkan putusan menjadi non-eksekutable. Oleh karena itu tulisan ini berusaha menelurusi kembali peraturan yang ada kemudian menyandingkannya dengan pendapat ahli serta asas-asas hukum acara perdata.

Dasar Hukum & Definisi

PS diatur dalam HIR, RBG dan Rv di mana ketiganya mengatur hal-hal yang tidak jauh berbeda. Pasal 153 HIR (180 Rbg / 211 Rv), mengatur bahwa “Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka Ketua boleh mengangkat satu atau dua orang Komisaris dari pada dewan itu, yang dengan bantuan panitera Pengadilan Negeri akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim”.

Jika melihat ketentuan tersebut maka sederhanya PS adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat objek perkara. Menurut Prof.Subekti, PS tidaklah lain daripada pemindahan tempat sidang hakim ke tempat yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh hakim sendiri di tempat tersebut dapat dianggap sebagai dilihat oleh hakim di muka persidangan.

Pendapat yang sama juga di-aminkan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 5 Tahun 1999 tentang Biaya Administrasi (SEMA 5/1999), menyebutkan PS sifatnya sama dengan persidangan yang dilakukan di kantor pengadilan. Tidak salah jika PS disebut sebagai metode pemeriksaan dengan cara memindahkan sidang dari gedung pengadilan ke tempat obyek perkara, dengan alasan logis tidak mungkin obyek tersebut dibawa ke dalam gedung pengadilan. Kemudian mengacu kepada pendapat Riduan Syahrani bahwa PS adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau keadaan di tempat objek perkara berada. Dari pengertian tersebut yang dapat kita ketahui lagi bahwa PS dilaksanakan untuk mencari fakta atau dilaksanakan pada sidang pembuktian (pemeriksaan alat bukti). Sehingga hemat Penulis, PS adalah metode pemeriksaan alat bukti yang dilakukan lansung di tempat obyek perkara berada.   

Tata Cara

PS diatur dalam Pasal 153 HIR, Pasal 180 Rbg, Pasal 211 - 214 Rv, ketentuan-ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan PS di lapangan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan PS menjadi mengikuti kebiasaan para hakim di pengadilan, yang bisa berbeda-beda satu sama lain. Mengambil contoh di salah satu pengadilan PS dilaksanakan dengan cara datang ke lokasi kemudian menanyakan kepada para pihak (Penggugat dan Tergugat) tekait obyek perkara. Sedangkan di tempat lain juga dilakukan dengan cara melihat alat bukti surat kemudian mencocokan dengan kondisi lapangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait