Perlu Rekonseptualisasi Kewenangan PTUN dalam Perkara Fiktif Positif
Doktor Ilmu Hukum:

Perlu Rekonseptualisasi Kewenangan PTUN dalam Perkara Fiktif Positif

Hukum acaranya perlu mengadopsi model gugatan sederhana.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Enrico Simanjuntak (nomor dua dari kanan) bersama promotor dan tim penguji dalam promosi doktor ilmu hukum di FH UI. Foto: Istimewa
Enrico Simanjuntak (nomor dua dari kanan) bersama promotor dan tim penguji dalam promosi doktor ilmu hukum di FH UI. Foto: Istimewa

RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan fiktif positif dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Jika suatu peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban membuat keputusan atau tindakan, maka Badan/Pejabat harus membuat keputusan/tindakan dalam jangka waktu paling lama 5 hari setelah permohonan diterima. Sebelumnya, dalam UUAP jangka waktunya paling lama 10 hari kerja.

Dari sisi warga negara, perubahan ini sangat menguntungkan karena jangka waktu pengurusan semakin singkat. Sebaliknya, bagi penyelenggara pemerintahan perubahan itu bisa menyulitkan. Dalam waktu lima hari pejabat harus membuat keputusan legal, jika tidak maka ia dianggap menyetujui permohonan warga negara. Dalam UUAP, ada kesempatan warga negara meminta ke pengadilan agar pejabat bersangkutan mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan. Dalam RUU Cipta Kerja, peran pengadilan itu tak disebutkan lagi. Penetapan keputusan dilakukan melalui sistem elektronik.

Perubahan Pasal 53 UUAP itu menjadi salah satu poin pertanyaan penguji dalam ujian terbuka doktor ilmu hukum di Universitas Indonesia, Jum’at (23/10). Enrico Simanjuntak, promovendus, berhasil mempertahankan disertasi berjudul ‘Rekonseptualisasi Kewenangan PTUN dalam Mengadili Perkara Fiktif Positif (Analisis dan Refleksi Putusan PTUN dalam Perkara Fiktif Positif Kurun Waktu 2014-2019). Hakim PTUN Jakarta itu berhasil memperoleh nilai cumlaude.

Sebagai seorang yang berlatar belakang hakim, Enrico ikut menangani dan mengamati kasus-kasus fiktif positif yang masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ia mencatat ada lima permasalahan fiktif positif pada tataran praktik dalam lima tahun terakhir. Kelima permasalahan dimaksud adalah ketidakjelasan kriteria objectum litis (objek perkara atau objek sengketa); substitusi kewenangan dismissal Ketua Pengadilan oleh Panitera Pengadilan; ketidakseragaman penyebutan jenis acara pemeriksaan; ketidakseragaman sistematika putusan; dan eksekusi putusan fiktif positif. Meskipun secara normatif tidak boleh ada upaya hukum lanjutan atas putusan perkara fiktif positif, faktanya Mahkamah Agng sebagai puncak peradilan tertinggi membuka jalan pengajuan upaya hukum uar biasa atas dasar corrective justice. Contohnya adalah putusan MA No. 9 PK/FP/TUN/2019.

Munculnya masalah dalam praktik peradilan merupakan salah satu persoalan yang dihadapi pasca berlakunya ketentuan fiktif positif dalam UUAP. Undang-Undang ini mengubah paradigma yang selama ini dianut dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Enrico, perubahan haluan secara drastis dari fiktif negatif ke fiktif positif tanpa proses transisi, adaptasi, dan modifikasi hukum di Indonesia telah menimbulkan kontradiksi dan ketidakpastian hukum. “PTUN menghadapi tantangan disrupsi hukum yang luar biasa dalam menerjemahkan keadilan administrasi dalam proses adaptasi norma hukum baru fiktif positif,” paparnya dalam kesimpulan disertasi.

Mahkamah Agung, atas inisiatif sendiri, berusaha mengatasi problem transasi dan adaptasi hukum itu dengan cara menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Mula-mula diterbitkan Perma No. 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan. Pedoman ini lalu diubah setelah lahirnya Perma No. 8 Tahun 2017. Perma No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

(Baca juga: Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif).

Meskipun Mahkamah Agung sudah berusaha mengatasi persoalan tersebut, hukum acara penyelesaian sengketa fiktif positif belum mempertegas karakternya sebagai perkara perselisihan (contentiosa). Selama ini, papar Enrico, masih cenderung dipahami sebagai perkara non-perselisihan dalam arti identic dengan perkara ex parte (voluntair).

Tags:

Berita Terkait