Guru Besar FHUI: UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan Tidak Lebih Baik Dibanding UU PPLH
Utama

Guru Besar FHUI: UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan Tidak Lebih Baik Dibanding UU PPLH

Mulai dilemahkannya peran masyarakat pemerhati lingkungan hidup dalam penerbitan dokumen Amdal, ruang keberatan ke pengadilan dihapus, pelemahan sanksi pidana, hingga menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam menilai dan menetapkan Amdal perusahaan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Sejak disetujui menjadi UU pada 5 Oktober lalu, UU Cipta Kerja terus menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat baik dari sisi proses pembentukannya maupun substansinya. Salah satu substansi yang dikritisi yakni pengaturan sektor lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja yang dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Penilaian itu disampaikan Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana dalam diskusi virtual bertajuk “Potensi Korupsi di Sektor Lingkungan Hidup Pasca UU Cipta Kerja, Selasa (27/10/2020). Dia menilai UU Cipta Kerja melemahkan peran serta masyarakat jika dibandingkan dengan UU PPLH.

Prof Andri menyebut UU Cipta Kerja mengubah Pasal 26 UU 32/2009 yang dinilainya sangat membatasi atau mempersempit partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam rangka perlindungan lingkungan hidup secara optimal. Sebab, definisi masyarakat hanya terbatas masyarakat yang terdampak. Sementara peran masyarakat pemerhati lingkungan hidup ataupun yang terpengaruh terhadap berbagai bentuk keputusan dalam proses Amdal dihilangkan.

Dia menilai alasan perubahan norma Pasal 26 dalam UU Cipta Kerja karena keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak menjadi faktor penghambat investasi. “Jadi niatnya memang ingin menghilangkan keterlibatan masyarakat karena dianggap menghambat investasi,” ujar Prof Andri G Wibisana. (Baca Juga: Membahas Rancangan PP Ketenagakerjaan, Buruh Tetap Menolak UU Cipta Kerja)  

Menurut dia, perubahan Pasal 26 UU PPLH melalui UU Cipta Kerja ini untuk mempercepat perolehan dokumen penerbitan Amdal yang selama ini kerap muncul penolakan dari lembaga pemerhati lingkungan hidup. “Rumusan norma Pasal 26 UU 32/2009 dalam UU Cipta Kerja, tak bisa lagi LSM atau pihak lain mengajukan keberatan atau penolakan atas terbitnya Amdal dalam proyek tertentu.”

Lebih lanjut, dia mengatakan peran masyarakat ini sebatas terlibat dalam penyusunan Amdal. Itupun hanya masyarakat terdampak langsung dari setiap rencana usaha atau kegiatan yang dimohonkan Amdal. Selain itu, keberatan atau upaya hukum terhadap dokumen Amdal untuk digugat dan dibatalkan melalui pengadilan (PTUN, red) pun tidak ada lagi. Sebab, keberadaan Pasal 38 UU 32/2009 dihapus melalui UU Cipta Kerja.

“Jadi semua tersentralistik di pemerintah. Seolah sengaja menghilangkan kesempatan masyarakat untuk protes, keberatan, dan mengajukan langkah hukum ketika keputusan (Amdal, red) sudah dibuat,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait