Mempertanyakan Legitimasi UU Cipta Kerja
Berita

Mempertanyakan Legitimasi UU Cipta Kerja

Karena proses pembentukan UU Cipta Kerja dinilai tidak memperhatikan substantive due process of law dan procedural due process of law sebagaimana diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tapi, DPR mengklaim proses RUU Cipta Kerja hingga tahap pengambilan keputusan telah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Sejumlah narasumber diskusi daring bertajuk 'Mengupas Prosedur Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja', Rabu (28/10) malam. Foto: RFQ
Sejumlah narasumber diskusi daring bertajuk 'Mengupas Prosedur Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja', Rabu (28/10) malam. Foto: RFQ

Proses pengesahan UU Cipta Kerja terus menjadi sorotan kalangan akademisi. Sebab, sejak penyerahan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada Februari 2020 di DPR hingga disetujui pada 5 Oktober 2020 lalu kerap menimbulkan kontroversial. Mulai penerapan metode omnibus law dalam penyusunan, substansinya, hingga tata cara pembentukan UU Cipta Kerja ini yang tidak disesuai dengan kaidah pembentukan UU yang baik, sehingga legitimasi (keabsahan) UU ini dipertanyakan.      

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad) Bandung, Prof Susi Dwi Harijanti mengatakan sebagai negara hukum yang demokratis, membuat sebuah UU atau peraturan yang berkualitas harus menerapkan prinsip due process of law yang menyangkut dua hal. Pertama, substantive due process of law. Kedua, procedural due process of law. Dia menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja memiliki masalah pada dua hal tersebut.

Dia mengingatkan membentuk UU yang berkualitas harus mentaati proses atau prosedur yang diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan taat asas, yang didalamnya ada asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU. Keterlibataan masyarakat amat penting. Selain menjadi kontrol, masyarakatlah menjadi subjek dari aturan yang diberlakukan.

Prosedur adalah jantungnya pembuatan UU,” ujar Prof Susi dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Mengupas Prosedur Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja”, Rabu (28/10/2020) malam. (Baca Juga: Guru Besar FHUI: UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan Tidak Lebih Baik Dibanding UU PPLH)  

Pembuat UU seringkali mengklaim bahwa UU Cipta Kerja disusun sesuai prosedur pembentukan UU yang berlaku. Baginya, Pemerintah dan DPR tak dapat mengklaim legitimasi tanpa melalui berbagai justifikasi baik dari sisi kebaikan dan keburukan sebuah UU. Justifikasi ini yang dibutuhkan rakyat terhadap UU Cipta Kerja.

Dia telah membaca naskah akademik dengan jumlah ribuan halaman. Faktanya, penjelasan landasan teori hanya sekitar 219 halaman. Dia menduga ribuan halaman yang tersisa terkait materi yang akan diatur. Sayangnya, kata dia, naskah akademik tidak tergambar sisi keburukan bila UU Cipta Kerja berlaku sebagai pelaksanaan asas kejelasan tujuan.

“Justifikasi itu tentang kebaikan dan keburukan apa kalau UU ini dibuat. Pemerintah seringkali berpendapat punya kewenangan terhadap orang yang tidak patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang dibuatnya, sekalipun kualitas UU bermasalah,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait