Guru Besar FH Unpad: MK Bisa Batalkan UU Cipta Kerja, Asalkan….
Utama

Guru Besar FH Unpad: MK Bisa Batalkan UU Cipta Kerja, Asalkan….

Bila MK benar-benar menemukan adanya kecacatan prosedur pembentukan yang buruk. Polemik UU Cipta Kerja ini sebenarnya publik bukan tak percaya terhadap MK, tapi ada persoalan minimnya akuntabilitas penyelenggara negara dalam pembentukan UU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber diskusi daring bertajuk 'Mengupas Prosedur Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja', Rabu (28/10) malam. Foto: RFQ
Sejumlah narasumber diskusi daring bertajuk 'Mengupas Prosedur Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja', Rabu (28/10) malam. Foto: RFQ

Tercatat sudah ada tiga permohonan atas uji materil dan formil atas UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas ditandatangani atau tidak oleh Presiden, UU Cipta Kerja secara otomatis berlaku mengikat sejak diundangkan dalam lembaran negara yang diperkirakan pada 5 November 2020. Sejak saat itu, beleid ini bisa menjadi objek pengujian UU di MK.      

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad), Prof Susi Dwi Harijanti menilai pengujian UU Cipta Kerja langkah terakhir ketika terdapat pertentangan aspek materi dan cacat formil prosedur pembentukan UU ini. Bila MK benar-benar menemukan adanya kecacatan prosedur pembentukan yang buruk, maka MK seharusnya bisa menjatuhkan putusan pembatalan UU Cipta Kerja.

“(Cacat prosedur pembentukan UU, red) akibat hukumnya memang amat serius. Oleh sebab itu, ketika pengadilan (MK, red) menjalankan fungsinya melakukan uji formil, perlu kehati-hatian dan pemeriksaan mendalam,” kata Prof Susi Dwi Harijanti dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Mengupas Prosedur Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja”, Rabu (28/10/2020) kemarin. (Baca Juga: Mempertanyakan Legitimasi UU Cipta Kerja)

Prof Susi mengingatkan pengujian formil terhadap UU tidak mudah untuk bisa dikabulkan. Meski MK sering memeriksa uji formil sebuah UU, tapi tak satupun yang dikabulkan dengan beragam alasan. Tapi sebagai negara hukum, uji formil UU menjadi bagian penting fungsi kontrol terhadap kualitas penyusunan UU dari aspek prosedur. Untuk itu, publik menginginkan adanya konsistensi pelaksanaan rule of law terutama dalam pembentukan UU.  

Dia menilai dorongan agar UU Cipta Kerja dilakukan legislative review adalah hal mustahil. Sebab, DPR tak berniat sedikitpun melakukan legislative review melihat komposisi anggota DPR yang sekarang. Pemerintah dan DPR kompak menganjurkan agar pihak-pihak yang keberatan mengajukan uji materi ke MK. “Bukan kita tidak percaya MK, tapi ada beberapa hal yang layak kita pertimbangkan,” kata Susi.

Dia memberi contoh salah satu pasal atau ayat yang mengharuskan pembuat UU segera menindaklanjuti putusan MK sebagaimana tertuang dalam Pasal 59 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Beleid ini berbunyi, Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Namun, dalam UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, keberadaan Pasal Pasal 59 ayat (2) itu dihapus. “Dihapusnya ayat (2) dalam Pasal 59 menguji pula sejauh mana membangkitkan semangat dan rasa kewajiban pembentuk UU untuk segera menindaklanjuti putusan MK apabila UU itu (Cipta Kerja, red) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sekarang ayat 2-nya nggak ada. Ayatnya masih ada saja pembentuk UU entah kapan merespon (tindak lanjut putusan MK, red),” sindirnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait