Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh
Utama

Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh

Arah kebijakan pengupahan menuju upah murah, dihapusnya batas waktu hubungan kerja secara kontrak, hilangnya pembatasan jenis pekerjaan yang bisa di outsourcing, berkurangnya kompensasi pesangon, dan semakin mudah melakukan PHK, serta masuknya TKA. KSPI dan KSPSI (pimpinan Andi Gani) sudah mendaftarkan uji materi UU Cipta Kerja ke MK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Penolakan beberapa elemen masyarakat terhadap persetujuan UU Cipta Kerja tak menyurutkan langkah Presiden Jokowi untuk menandatangani UU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020. Untuk itu, tuntutan masyarakat kepada Presiden Jokowi agar menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja nampaknya pupus.  

Meski demikian, kelompok masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja, terutama dari kalangan buruh terus berupaya agar UU Cipta Kerja ini dibatalkan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan sejak awal KSPI dan buruh pada umumnya tegas menolak UU Cipta Kerja dan menuntut agar dibatalkan.

KSPI mencatat sedikitnya ada 5 substansi UU Cipta Kerja dari klaster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. “Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Iqbal dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020). (Baca Juga: Mengintip Isi Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja)

Pertama, Iqbal menilai kebijakan pengupahan yang diatur dalam UU Cipta Kerja arahnya kembali kepada sistem upah murah. Misalnya, UU Cipta Kerja menyelipkan Pasal 88C ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebut Gubernur dapat menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan syarat tertentu. Frasa “dapat” dalam ketentuan ini dinilai sangat merugikan buruh karena penetapan UMK sifatnya menjadi tidak wajib.

“Bisa saja Gubernur tidak menetapkan UMK, yang mengakibatkan upah murah bagi buruh,” kata Said Iqbal.  

Iqbal memberi gambaran UMP Jawa Barat Tahun 2019 sebesar Rp1,8 juta. Pada tahun yang sama UMK Bekasi Rp4,2 juta. Jika Gubernur Jawa Barat hanya menetapkan UMP saja, nilai upah minimum di Bekasi diperkirakan bakal turun. Ketentuan ini diperparah dengan dihapuskannya upah minimum sektoral provinsi atau kabupaten/kota karena UU Cipta Kerja menghapus Pasal 89 UU Ketenagakerjaan.

Menurut Iqbal, dihapusnya upah minimum sektoral sangat tidak adil bagi buruh. Hal ini berarti sektor industri tertentu seperti otomotif, pertambangan, dan lainnya nilai upah minimumnya sama seperti industri tekstil dan makanan. Padahal, praktik di berbagai negara menetapkan upah minimum sektoral sesuai kontribusi nilai tambah masing-masing industri tersebut terhadap PDB negara. Karena itu, ketentuan mengenai upah minimum dan sektoral harus tetap bergulir tanpa syarat dan tidak boleh dihapus.

Tags:

Berita Terkait