Jimly: UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Mengikat Sesuai Prinsip Preasumption Iustea Causae
Utama

Jimly: UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Mengikat Sesuai Prinsip Preasumption Iustea Causae

Jimly menyarankan hakim MK harus berpikir progresif saat mengadili pengujian UU Cipta Kerja ini. Kesalahan merujuk pasal dalam Pasal 6 dan Pasal 175 UU Cipta Kerja dinilai cukup fatal yang bisa lebih memperkuat alasan bagi publik mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke MK.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah disahkan terutama setelah ditandatangani Presiden pada 2 November 2020. Hal ini berlaku prinsip Preasumption Iustae Causae bahwa UU ini sudah berlaku mengikat untuk umum dan harus diterima, terlepas suka atau tidak suka. Hingga pejabat berwenang menetapkan proses pembentukan UU Cipta Kerja dan/atau materi muatan tertentu yang terdapat didalamnya tidak berlaku mengikat untuk umum.

Pernyataan ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Jimly Assiddiqie saat dihubungi Hukumonline, Kamis (5/11/2020). “Bila ada kesalahan dalam UU tersebut ketika sudah ditandatangani oleh Presiden itu sebenarnya tidak boleh. Seharusnya ketika sudah disahkan di DPR semuanya sudah final,” kata Jimly.   

Jimly menegaskan UU yang sudah disahkan oleh DPR seharusnya sudah final, karena dalam 30 hari pun bila tidak ditandatangani oleh Presiden sudah berlaku menjadi UU. Artinya, ketika sudah disahkan sudah tidak boleh lagi diubah, meskipun satu titik atau koma, apalagi satu kata, bisa jadi mengakibatkan kerugian triliunan rupiah. “Tapi, saat ini UU Cipta Kerja sudah sah dan mengikat umum,” kata Jimly  

“Jadi, biarlah masalah ini sudah menjadi perkara di Mahkamah Konstitusi (MK). Nanti buktikan saja kalau UU Cipta Kerja ini cacat formil dan materil! Tapi, biasanya bila menyerahkan pengujian UU ke MK bisa memakan waktu yang cukup lama.”

Untuk itu, Jimly menyarankan hakim MK harus berpikir progresif saat menguji UU Cipta Kerja ini. Sebab, Indonesia saat ini sedang tumbuh berkembang dan belum stabil. Dia mengingatkan MK dan MA sebagai cabang kekuatan ketiga, menjadi pengontrol eksekutif dan legislatif. Karena itu, seorang hakim dituntut jangan berpikir biasa-biasa saja.

“Hakim harus berpikir progresif, ada semangat aktivisme (judicial activism, red) dalam kondisi yang belum normal dan belum stabil di tengah pandemi begini. Kecuali, keadaannya normal, maka hakim dapat bersikap lebih arif dan membatasi diri,” kata dia. (Baca Juga: Tiga Cara Memperbaiki Salah Rujuk Pasal dalam UU Cipta Kerja)

Mantan Ketua MK yang pertama ini meminta agar hakim MK harus aktif dalam menangani uji UU Cipta Kerja ini. Misalnya, saat ini ada pihak yang mengajukan permohonan uji formil dan materil sekaligus. Menurutnya, uji formil dan materil harus diperiksa dan dinilai terpisah. Keduanya, tidak saling mempengaruhi dan berproses masing-masing.   

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait