Jimly: Jika Masih Hakim MK, 1.000 Persen Saya Kabulkan Uji Formil UU Cipta Kerja
Berita

Jimly: Jika Masih Hakim MK, 1.000 Persen Saya Kabulkan Uji Formil UU Cipta Kerja

Jimly menyarankan hakim MK harus berpikir progresif saat menguji UU Cipta Kerja ini. Pengujian formil dan materil UU Cipta Kerja ini seharusnya dipisahkan pemeriksaannya. Keduanya, tidak saling mempengaruhi dan berproses masing-masing.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Prof Jimly Assiddiqie. Foto: Humas DKPP
Prof Jimly Assiddiqie. Foto: Humas DKPP

Sejak disetujui menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu, UU Cipta Kerja terus menuai kontroversial terutama dari sisi proses pembentukannya. Sebab, draf UU Cipta Kerja telah beberapa kali mengalami perubahan baik dari sisi jumlah halaman maupun diduga substansinya yang kemudian terungkap ke publik. Setelah dibacakan dalam sidang paripurna, beredar naskah UU Cipta kerja versi 905 halaman.

Dianggap belum final, setelah itu beredar naskah UU Cipta Kerja sebanyak 1.035 halaman yang dikatakan Sekjen DPR Indra Iskandar sebagai draf final RUU Cipta Kerja. Kuasa Hukum Para Pemohon uji formil UU Cipta Kerja Viktor Santoso Tandiasa mengaku menemukan beberapa perubahan substansi diantaranya perbandingan Pasal 5 dan Pasal 6 dalam naskah UU Cipta Kerja versi 905 dan 1.035 halaman.  

Pada 14 Oktober 2020, DPR menyerahkan naskah UU Cipta Kerja ke pemerintah melalui Sekretariat Negara (Setneg), berubah lagi menjadi 812 halaman. Naskah berubah lagi menjadi 1.187 halaman setelah MUI dan Muhammadiyah menerima draf tersebut dari Setneg, Rabu (21/10/2020). Pada Kamis (22/10/2020), ada temuan hilangnya Pasal 46 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dalam naskah UU Cipta Kerja versi 1.187 halaman yang sudah dipegang pemerintah. Padahal, dalam draf UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal itu masih ada dan terdiri dari 4 ayat.   

Terakhir, setelah ditandatangani Presiden Jokowi dan diundangkan dalam lembaran negara pada 2 November 2020, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih saja ditemukan kekeliruan. Kekeliruannya berupa salah merujuk pasal dalam Pasal 6 dan Pasal 175 UU Cipta Kerja yang dinilai mempengaruhi substansi. Sejak persetujuan bersama, sejumlah pihak telah mengajukan uji formil dan materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta pembatalan UU Cipta Kerja dan sejumlah pasal yang diuji materi.  

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Jimly Assiddiqie mengatakan sepanjang materi muatan, naskah UU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama dalam sidang paripurna seharusnya sudah final. Setelah itu, mutlak tidak boleh lagi ada perubahan substansi (materi muatan) karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945, RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU.

“Seharusnya ketika sudah disahkan di DPR semuanya sudah final. Praktik di dunia, yang dianggap boleh berubah hanya koreksi atas clerical error atau spelling saja,” kata Jimly. (Baca Juga: Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?)

Apalagi, bila ada kesalahan dalam UU Cipta Kerja setelah ditandatangani Presiden, yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Namun demikian, UU Cipta Kerja setelah ditandatangani Presiden sah dan berlaku mengikat sesuai asas Preasumption Iustae Causae bahwa UU ini sudah berlaku mengikat untuk umum dan harus diterima, terlepas suka atau tidak suka. Hingga pejabat berwenang menetapkan proses pembentukan UU Cipta Kerja dan/atau materi muatan tertentu yang terdapat didalamnya tidak berlaku mengikat untuk umum.

Tags:

Berita Terkait