Originalist atau Non-Originalist, Banyak Jalan Menafsir Konstitusi Kita
Resensi:

Originalist atau Non-Originalist, Banyak Jalan Menafsir Konstitusi Kita

Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut buku ini kategori ‘wajib baca’ bagi kalangan hukum, khususnya yang berkecimpung dalam bidang Hukum Tata Negara.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Originalist atau Non-Originalist, Banyak Jalan Menafsir Konstitusi Kita
Hukumonline

Setiap negara memiliki landasan atau pijakan dasar bernegara, yang lazim disebut konstitusi. Negara konstitusional menunjukkan bahwa segala aktivitas penyelenggaraan di negara tersebut berlandaskan konstitusi. Konstitusi beberapa negara merupakan naskah yang ditulis para pendiri bangsanya. Ada juga konstitusi yang sudah berkali-kali diubah atau diamandemen. Indonesia, misalnya. Konstitusi UUD 1945 sudah empat kali mengalami perubahan (1999-2002).

Konstitusi suatu negara bersifat otoritatif, karena umumnya ditulis oleh tokoh bangsa dan isinya hanya hal-hal yang pokok saja. Konstitusi merupakan kumpulan asas-asas yang mengatur dan menetapkan kekuasaan dan pemerintah, hak-hak warga yang diperintah, dan hubungan keduanya.

Seiring perjalanan waktu, adakalanya teks konstitusi itu dinilai tidak jelas, kalimatnya sangat terbuka, kadang juga ambigu, sehingga memerlukan elaborasi. Elaborasi yang otoritatif dilakukan melalui pencarian ke sumber-sumber terpercaya, dan kemudian diberikan penafsiran oleh lembaga otoritatif juga. Harry H. Wellington, dalam bukunya Interpreting the Constitution, the Supreme Court and the Process of Adjudication (1990: 48) menggambarkan masalah ini dengan baik. “The text of the Constitution is authoritative. It is also vague, opentextured, sometimes ambiguous, an generally in desperate need of elaboration. The search for the authoritative sources of law is therefore the search for the interpretative tools”.

(Baca juga: Penafsiran Konstitusi dan Identitas Tafsir Konstitusi).

Konstitusi Indonesia adalah contoh yang menarik untuk dilihat, terutama bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan kata, frasa, ayat, atau pasal suatu Undang-Undang yang dimohonkan uji. Ketika melakukan pengujian (judicial review), Mahkamah Konstitusi merujuk pada teks konstitusi dan pada saat itulah Mahkamah Konstitusi langsung atau tidak langsung melakukan penafsiran. Tentu saja, ketika melakukan penafsiran terhadap teks konstitusi yang sangat otoritatif, tidak boleh dilakukan serampangan. Menafsir konstitusi punya cara, punya metode. Kalau begitu, bagaimana caranya?

Buku ‘Teori Penafsiran Konstitusi, Implikasi Pengujian Konstitusional di Mahkamah Konstitusi’ karya M. Ilham Hermawan, salah satu referensi yang layak untuk dipergunakan. Diangkat dari disertasinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ilham menyajikan kepada pembaca mulai dari pemahaman awal pentingnya penafsiran konstitusi dan perkembangan pengujian konstitusional hingga aliran dan teori penafsiran konstitusi. Membaca buku ini juga akan memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai hermeneutika, filsafat penafsiran yang berasal dari Dewa Hermes dalam era Yunani Kuno. Melalui hermeneutika, perdebatan para ahli konsitusi yang tidak memperoleh titik temu dapat didudukkan secara lebih baik (hal. 202).

Ilham menggunakan pisau analisis hermeneutika dari sudut pandang filosof Jerman, Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Pemikiran Gadamer dapat dikatakan sebagai puncak pemikiran hermeneutika, rentetan pemikiran dari epistemologi hingga ontologi. Gadamer mengatakan hermeneutika ialah suatu filsafat dan bukan metodologi ilmu penafsiran. Hermeneutika tidak meletakkan diri pada ilmu tertentu atau menyangkut suatu penafsiran yang ketat, melainkan sebuah pemahaman ontologis yang menyeluruh. Ilham menuliskan melalui pemikiran Gadamer, perdebatan teoritis dalam penafsiran konstitusi dianalisis dan dirumuskan ke dalam suatu pemikiran penafsiran lebih mendalam. Melalui hermeneutika dilahirkan apa yang disebut hermeneutika konstitusional (hal. 18).

Penafsiran konstitusi telah berkembang. Terhadap penafsiran konstitusi ini ada arus perdebatan utama sebagai jawaban atas pertanyaan apakah makna konstitusi itu statis atau berkembang. Perdebatan ini pada akhirnya melahirkan paham dalam penafsiran konstitusi. Mereka yang memiliki keyakinan bahwa makna konstitusi harus statis dan konstan, yang berarti makna harus sesuai dengan apa yang dirumuskan pertama kali, disebut originalist. Sebaliknya, mereka yang berkeyakinan bahwa makna konstitusi harus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, lazim disebut non-originalist (hal. 157).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait