Nefa Claudia, Regulasi Belum Optimal Lindungi Perempuan Sebagai Korban
Hukumonline Academy:

Nefa Claudia, Regulasi Belum Optimal Lindungi Perempuan Sebagai Korban

Karena masih mengakui sistem partiarki dan budaya victim blaming masih kuat. Tantangan penerapan konsep restorative justice di Indonesia semangat untuk menghukum pidana seseorang masih besar.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Nefa Claudia Meliala saat talkshow live instagram, Hukumonline Academy, Jum'at (6/11). Foto: Hol
Nefa Claudia Meliala saat talkshow live instagram, Hukumonline Academy, Jum'at (6/11). Foto: Hol

Pengaturan hukum pidana saat ini belum cukup melindungi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, aparat penegak hukum belum memiliki rasa kepedulian atau kepekaan kepada perempuan ketika berhadapan dengan hukum yang justru kerap menjadi korban. Seperti, kasus yang dialami Baiq Nuril. Selain tidak menerapkan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Bagi Hakim Menangani Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, regulasi yang ada justru menjerat perempuan sebagai pelaku pidana.    

“Terdapat regulasi yang tanpa disadari malah membuat jerat pidana bagi perempuan, contohnya penerapan UU ITE yang menimpa Baiq Nuril,” kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Nefa Claudia Meliala dalam talkshow live instagram bertajuk “Hukumonline Academy”, Jumat (6/11/2020). (Baca Juga: Choky R Ramadhan, Lebih Milih Peneliti dan Dosen Ketimbang Corporate Lawyer)  

Nefa mengatakan selama ini dalam proses penegakan hukum korban kejahatan (yang dialami perempuan, red) malah menjadi korban untuk kedua kalinya, dan kasus seperti ini terus berulang. Persoalan ini, menurutnya, karena masih mengakui sistem partiarki (laki-laki lebih berkuasa) dan budaya victim blaming (menyalahkan korban) yang masih kuat. “Hal ini yang menyebabkan regulasi ada belum memadai untuk melindungi perempuan,” kata dia.  

Terlebih, dalam KUHP saat ini hanya mengatur tindak pidana pemerkosaan dan perbuatan cabul dimana perempuan kerap menjadi korban. Padahal, saat ini jenis kekerasan seksual terhadap perempuan banyak sekali. Meski, ada regulasi di luar KUHP, seperti UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak, UU Perdagangan Orang, tetapi UU itu belum cukup memadai melindungi perempuan dari kekerasan seksual.

“Regulasi yang ada itu saat ini masih terkait hukuman seberat-beratnya yang berfokus terhadap pelaku tanpa mementingkan pemulihan terhadap korban. Regulasi belum cukup memadai meliindungi perempuan korban kekerasan seksual,” kata Nefa.  

Restorative justice

Terkait restorative justice (pemulihan keadilan), kata dia, selama ini restorative justice masih sering diartikan sebagai uang ganti rugi bagi korban dengan membayar uang ganti rugi, sehingga perkaranya bisa diselesaikan. Padahal, restorative justice itu tidak diartikan seperti itu. “Sebenarnya restorative justice lebih menitikberatkan pada pemulihan kehidupan sosialnya dan jauh dari kata uang,” kata dia.

Dia mengingatkan dalam penyelesaian perkara pidana, yang dipulihkan ialah pelaku, korban, dan tugas masyarakat. Ketiganya harus sama-sama dipulihkan. Misalnya, bagaimana korban dipulihkan amarah, dendam, dan traumanya. Pelaku sadar dirinya bersalah dan masyarakat juga dipulihkan tentang keadaan ini. “Restorative justice jangan diartikan pada perdamaian yang sifatnya menggunakan uang,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait