Ahli Hukum Pertanahan UGM: Pengaturan Bank Tanah Bermasalah
UU Cipta Kerja

Ahli Hukum Pertanahan UGM: Pengaturan Bank Tanah Bermasalah

Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, melanggar prinsip dalam Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Maria SW Sumardjono (kanan). Foto: RFQ
Maria SW Sumardjono (kanan). Foto: RFQ

Setelah diundangkan, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah dinyatakan. Meskipun ada kesalahan ketik, yang dianggap sebagai kesalahan administratif, Undang-Undang ini tetap berlaku dan mengikat warga negara secara formal. Efektivitas substansinya di lapangan terlalu prematur untuk dinilai. Apalagi hingga kini masih ada kritik yang disampaikan sejumlah akademisi, terutama berkaitan dengan aspek agraria dan lingkungan hidup.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono menilai pengaturan bank tanah dalam UU Cipta Kerja sangat bermasalah. Itu diketahui setelah membaca naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Pengaturan bank tanah sudah tertuang dalam RUU Pertanahan yang tak kunjung rampung. Penyebabnya antara lain muatan materinya juga menuai kontra.

Belakangan,  rumusan ketentuan bank tanah dalam RUU Pertanahan itu disalin ke dalam RUU Cipta Kerja tanpa analisis mendalam. Maria mengaku heran, rumusan pasal bank tanah yang bermasalah  dan dikritik dalam RUU Pertanahan, malah lolos masuk dalam draf RUU Cipta Kerja. Dia yakin pola yang digunakan melawan arus dengan menabrak rambu-rambu yang ada.  “Rambu-rambunya apa saja?,” ujarnya dalam konfrensi pers secara virtual bertajuk ‘Anotasi Hukum UU Cipta Kerja, Pemaparan Kertas Kebijakan FH UGM atas UU Cipta Kerja’, Jumat (6/11).

Pertama,  bertabrakan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dia menilai substansi kepentingan tanah hanya bagi kepentingan sekelompok rakyat kecil. Bukan sebaliknya dipergunakan bagi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Kedua, menabrak  putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007 ketika membahas jangka waktu  hak atas tanah. Ketiga, melanggar prinsip  dalam Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA dan PSDA).

Anehnya, kata Maria,  dalam naskah-naskah yang mutakhir dipasang sebagai konsideran dalam draf UU Cipta Kerja.  Namun isinya tak mengggambarkan prinsip-prinsip maupun filosofi Tap MPR IX/2001. Lantas apa yang dijadikan landasa hukum dalam UU Cipta Kerja?. “Pertanyaanya, norma baru itu seperti apa, filosofinya bagaimana, prinsip-prinsipnya seperti apa, urgensinya harus ada norma baru seperti apa, lalu apa yang terjadi dengan norma lama?. Itu tidak ada penjelasan sama sekali.  Tetapi haya dipasang norma baru sebagai landasan,” ujarnya.

Maria mengaku tak habis pikir dengan pembuat UU yang cenderung serampangan.  Namun demikian, secara yuridis UU 11/2020 sudah berlaku. Tetapi bila objektif, lanjutnya,  tak dapat digunakan adagium UU yang baru meniadakan aturan yang lama. Dia beralasan adagium tersebut dapat digunakan sepanjang yang diatur memiliki kesamaan. Sementara antara muatan UU No. 11 Tahun 2020 terkait pengaturan pertanahan berbeda muatannya dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Begitupula filosofi, paradigma yang digunakan masing-masing berbeda antara keduanya. “Prinsipnya juga bertentangan dengan yang UU No. 5 Tahun 1960,” ujarnya.

Lebih lanjut Maria berpendapat, keberaaan bank tanah malah penguatan hak pengelolaan (HPL). Seperti warga asing dapat membeli apartemen di atas tanah berdiri. Maria menemukan skenario dengan keberadaan bank tanah untuk memberikan karpet merah bagi kelompok tertentu, yakni investor. “Buat apa bank tanah?. Kita tidak tahu urgensinya. Karena RPJMN 2015-2019 minta ada bank tanah untuk penyediaan alternatif infrastruktur. Tapi tiba-tiba tidak tahu riwayat ketika ditanya filosoinya apa, prinsipnya apa, kelembagaannya apa, tidak ada penjelasannya,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait