Memahami Rigiditas dan Anomali Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
Resensi

Memahami Rigiditas dan Anomali Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi

Penulis mengajukan pentingnya dialog konstitusional untuk membangun kesepahaman bersama. Buku yang mengungkap fakta pasca ketuk palu Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Cover buku karangan M. Reza Winata. Ilustrator: Yusuf
Cover buku karangan M. Reza Winata. Ilustrator: Yusuf

Literatur yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dapat disebut sebagai bahan bacaan yang sangat banyak dibaca orang saat ini. Kalangan akademisi, praktisi, aparat pemerintahan, organisasi masyarakat sipil, dan warga biasa telah menaruh perhatian sekaligus harapan kepada Mahkamah ini. Tentu, kepentingan masing-masing pihak berbeda-beda, meskipun sebagian lebih fokus pada pengujian Undang-Undang (judicial review).

Entah berapa banyak orang menulis karya akademik berdasarkan atau merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi. Ini tak lepas dari kualitas putusan-putusan yang dihasilkan dan implikasi putusan terhadap kehidupan ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi telah menerima lebih dari 1.381 permohonan pengujian, dan sekitar 20 persen dari permohonan itu dikabulkan (baik seluruhnya atau sebagian). Ingat, putusan Mahkamah Konstitusi final dan mengikat, bersifat erga omnes, atau tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkannya.

Salah satu referensi terbaru berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi adalah ‘Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang, Rigiditas Tindak Lanjut dalam Pembentukan Undang-Undang’. Penulisnya, Muhammad Reza Winata, adalah orang dalam Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat disebut buku ini ditulis ‘di dalam rumah’. Mungkin, bukan latar belakang penulisnya semata yang menarik bagi pembaca, apalagi ‘penikmat’ bacaan Hukum Tata Negara, tetapi juga dua lema yang menjadi kunci dalam buku ini: ‘rigiditas’, dan ‘anomali’. Dua-duanya berasal dari bahasa asing.

Meskipun berasal dari bahasa asing, ternyata Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (edisi cetak 2015) sudah memuat kedua lema tersebut, sehingga sudah dianggap menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Anomali diartikan sebagai ketidaknormalan, penyimpangan dari normal, atau kelainan. Lalu, rigiditas diartikan sebagai diartikan sebagai kekakuan; rigid berarti kaku.

Dalam kajian Hukum Tata Negara, rigiditas dipakai ketika membahas sifat-sifat konstitusi negara. Ada konstitusi yang luwes (flexible) atau konstitusi yang kaku (rigid). Fleksibilitas atau rigiditas suatu konsttitusi biasanya dapat dilihat dari dua hal: pertama, cara mengubah konstitusi; atau kedua, apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman (Kusnardi dan Ibrahim, 1983: 75). Dalam konteks ini, pembaca bisa menelusuri pandangan-pandangan pakar mengenai living constitution.

Lantas apa yang dimaksus penulis dengan rigiditas dan anomali dalam konteks ini? Untuk memudahkan memahaminya, bisa dimulai dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, yang bersifat ergma omnes. Para ahli dan pengamat mengartikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi harus selalu diikuti DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang. Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan salah satu materi muatan Undang-Undang adalah tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.

Cobalah misalnya bandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Apakah Undang-Undang sepenuhnya mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi? Atau, sebaliknya, menyimpangi putusan Mahkamah. Uraian dalam buku ini memang mengkaji putusan hingga tahun 2013, tak sampai UU Cipta Kerja.

Tags:

Berita Terkait