Mengulas Keseriusan OJK dalam Mengawasi Bank
Kolom

Mengulas Keseriusan OJK dalam Mengawasi Bank

Khususnya dalam pelaksanaan good corporate governance di Indonesia.

Arjana Bagaskara Solichin. Foto: Istimewa
Arjana Bagaskara Solichin. Foto: Istimewa

Bulan November 2020 ini adalah pukulan yang sangat telak untuk aktivitas perbankan di Indonesia. Sebagai contoh kasus yang melibatkan seorang nasabah sebuah bank yang lenyap tabungannya sebesar Rp22,9 miliar. Sorotan media televisi dan media online tidak letih-letihnya berusaha mengungkap fakta apa yang sebenarnya terjadi. Dengan mata berkaca-kaca, nasabah tersebut berusaha menjelaskan ke awak media bahwa tabungannya yang diperjuangkan untuk masa depannya bisa lenyap begitu saja.

Di tengah pandemi Covid-19 di mana semua orang sangat berhati-hati dalam mempergunakan finasialnya, kasus yang dialami nasabah yang uangnya hilang di kantor cabang sebuah bank ini dapat menjadi bumerang. Para pemangku kepentingan dan Pemerintah harus duduk bersama membicarakan persoalan ini. Kekhawatiran dunia perbankan agar masyarakat tidak impulsif menarik uangnya dari bank (rush money)  pasti ada, oleh karenanya bank-bank yang beraktivitas saat ini juga perlu diberikan ketenangan. Jika kekhawatiran itu terjadi, likuiditas-likuiditas perbankan kita akan sangat terganggu. Bukan tidak mungkin berakibat secara makro dan berefek lebih besar di masyarakat.

Timbul pertanyaan dalam benak Penulis, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas kasus hilangnya dana nasabah sebesar Rp22,9 miliar tersebut. Selama ini kita terus berharap memiliki regulator dan supervisor dalam dunia keuangan yang tidak saja kuat tetapi juga tegas. Itulah mengapa kewenangan pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan. 

Salah satu persoalan yang jarang disorot oleh kita semua adalah bagaimana implementasi tata kelola yang baik dari bank-bank di Indonesia. Kasus hilangnya dana nasabah Rp22,9 miliar ini menjadi gambaran besar bahwa penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik belum diawasi sepenuhnya. Secara teori, pengendalian suatu perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya secara terencana, baik, benar, efisien, mandiri dan profesional (Good Corporate Goverance), tergambar dalam struktur dan proses kerja yang dijalankan oleh organ perusahaan (secara khusus upaya untuk mengenal dan mengantisipasi secara baik dan pasti atas setiap potensi ataupun bentuk risiko yang mungkin saja timbul) dalam upaya untuk memastikan pencapaian sasaran hasil usaha yang maksimal dan berkelanjutan serta mengoptimalkan nilai perusahaan bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) secara akuntabel dan berdasarkan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku.

Secara khusus bagi bank, keharusan dalam melakukan pengelolaan dan pengendalian usaha perbankan secara baik dan profesional diwajibkan berdasarkan POJK No. 55/POJK.03/2016 tentang Prinsip Tata Kelola Bagi Bank Umum, serta peraturan pelaksana-pelaksana yang berhubungan dengannya. Akan tetapi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sangat disayangkan belum ada satupun pasal tentang tata kelola yang baik. Bahkan, dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (dikenal dengan nama “Omnibus Law”) ternyata tidak ada satu pun pasal yang memasukkan tata kelola yang baik dalam aktivitas perbankan.

Kenyataannya, reformasi investasi dan birokrasi tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perbankan. Tidak mungkin suatu investasi dapat berjalan dengan baik dan sempurna tanpa ada dukungan dari pelaku usaha perbankan. Kasus hilangnya duit nasabah Rp22,9 miliar tersebut benar-benar menunjukkan bahwa implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Goverance, antara lain prinsip keterbukaan (transparency), prinsip akuntabilitas (accountability), prinsip pertanggungjawaban (responsibility), prinsip independensi (independency), dan prinsip kewajaran (fairness) sangat lemah di tingkatan kantor cabang.

Walaupun Pasal 2 ayat (1) POJK No. 55/POJK.03/2016 tentang Prinsip Tata Kelola Bagi Bank Umum mewajibkan setiap bank untuk secara benar melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola Yang Baik, ternyata banyak sekali kelemahan di dalam POJK tersebut. Pasal-pasal larangan hanya limitatif berlaku kepada Anggota Direksi (Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 16, Pasal 22, Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (3)) dan Anggota Dewan Komisaris (Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31 ayat (4), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2)).

Tags:

Berita Terkait