RUU Pemilu Dinilai Belum Sesuai Asas Pembentukan Peraturan
Berita

RUU Pemilu Dinilai Belum Sesuai Asas Pembentukan Peraturan

Aspek teknis dan substansi juga belum terpenuhi sebagaimana diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena itu, draf RUU Pemilu bakal dikembalikan ke Komisi II untuk disempurnakan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Badan Legislasi (Baleg) memutuskan bakal mengundang pimpinan Komisi II untuk berkoordinasi sekaligus mengembalikan RUU tentang Pemilu. Sebab, setelah dilakukan kajian awal, RUU Pemilu belum sesuai dengan persyaratan sebagai sebuah draf RUU. Selain itu, RUU Pemilu belum sesuai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Kita akan mengundang pimpinan Komisi II untuk membicarakan ini, Kang Saan Mustofa dan Ahmad Doli Kunia Tandjung akan kita undang minggu depan untuk kelanjutannya,” ujar Wakil Ketua Baleg, Willy Aditya dalam rapat kerja di Gedung Parlemen, Kamis (19/11/2020). (Baca Juga: Baleg: Draf RUU Pemilu Butuh Penyempurnaan)

Pandangan Willy ini merangkum berbagai pendapat anggota Baleg yang memutuskan agar mengembalikan draf, termasuk terdapat berberapa opsi lainnya. Sebab, tim ahli Baleg dalam kajiannya menilai belum memenuhi persyaratan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam kajian Tim Ahli Baleg, merujuk Angka 77 lampiran II UU 12/2011 menyebutkan, “Pasal merupakan satuan aturan dalam peraturan perundangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas”. Dalam RUU Pemilu terdapat 741 memuat alternatif norma. Dengan begitu, tim ahli Baleg menilai belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 77 lampiran II UU 12/2011.

Sedangkan pada aspek substansi terdapat pasal yang di dalam satu pasal merumuskan substansi berbeda. Adanya pilihan/alternatif substansi pasal tersebut. Dengan adanya pilihan/alternatif rumusan norma substansi tersebut, pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU sulit untuk dirumuskan lantaran adanya pasal yang memuat alternatif norma yang dirumuskan dalam beberapa kalimat berbeda.

Seperti Keserentakan Pemilu dalam Pasal 4, 5, dan 6. Kemudian sistem pemilu dalam Pasal 201 dan 206. Begitu pula besaran kursi daerah pemilihan pada Pasal 207 dan 208. Bahkan, presiden threshold pada Pasal 187, parlimentary threshold pada Pasal 217 dan konversi suara hasil pemilu pada Pasal 218. Dengan adanya rumusan di beberapa pasal yang dalam satu pasal berisi norma yang berbeda-beda, tujuan rumusan dari pasal terkait menjadi tidak jelas.

“Oleh sebab itu, RUU Pemilu secara garis besar belum memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Terutama asas kejelasan, tujuan dan kejelasan rumusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 UU 12/2011,” demikian laporan tim ahli Baleg.

Tags:

Berita Terkait