Ini Kekhususan PHI Dibandingkan Peradilan Umum
Utama

Ini Kekhususan PHI Dibandingkan Peradilan Umum

Salah satunya membatasi 4 jenis perselisihan hubungan industrial yaitu perselisihan hak; kepentingan; pemutusan hubungan kerja (PHK); dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sugeng Santoso saat berbicara dalam Bootcamp Hukumonline Hari Kedua: 'Hukum Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial, dan Tata Cara Penggunaan TKA,' secara daring, Senin (23/11). Foto: RES
Sugeng Santoso saat berbicara dalam Bootcamp Hukumonline Hari Kedua: 'Hukum Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial, dan Tata Cara Penggunaan TKA,' secara daring, Senin (23/11). Foto: RES

Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah diatur UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Beleid ini mengamanatkan dibentuk pengadilan khusus guna menangani persoalan perselisihan hubungan industrial. Hakim ad hoc hubungan industrial MA, Sugeng Santoso, mengatakan pengadilan hubungan industrial (PHI) memiliki kekhususan dibandingkan peradilan umum.

Sugeng mengatakan kekhususan PHI antara lain, penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dilakukan melalui beberapa tahapan dimulai dengan bipartit. Apapun jenis perselisihannya, tahap pertama yang harus dilakukan menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat. Jika bipartit belum mampu menyelesaikan perselisihan, tahap selanjutnya bisa dilanjutkan melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase yang melibatkan pihak ketiga (tripartit).  

Dia menjelaskan penyelesaian dalam tahap tripartit ini harus memperhatikan beberapa hal. Misalnya, mekanisme mediasi bisa digunakan untuk menyelesaikan 4 jenis perselisihan hubungan industrial. Untuk konsiliasi tidak bisa digunakan untuk menangani perselisihan hak dan arbitrase hanya bisa untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat di satu perusahaan. Produk yang diterbitkan dalam mekanisme mediasi dan konsiliasi berupa anjuran dan arbitrase berupa keputusan.

Jika salah satu pihak atau keduanya menolak anjuran, Sugeng mengatakan perkara dapat berlanjut ke PHI. Berbeda dengan anjuran, keputusan arbitrase tidak bisa dibawa ke PHI, yang bisa dilakukan hanya upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK). “Ini syarat formal untuk ke PHI, ada juga yang menyebut anjuran mediator/konsiliator ini sebagai ‘tiket’ masuk ke PHI,” kata Sugeng dalam Bootcamp Hukumonline Hari Kedua: “Hukum Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial, dan Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing,” secara daring, Senin (23/11/2020).

Kekhusuan lain yang berlaku dalam mekanisme penyelesaian perselisihan di PHI yakni gugatan bisa memuat lebih dari 1 perselisihan, seperti perselisihan hak/kepentingan, yang diikuti perselisihan PHK. Dalam menangani kasus seperti ini, Pasal 86 UU PPHI mengatur PHI wajib memutus terlebih dulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. Selain itu, PHI menerapkan 2 macam acara pemeriksaan. Pertama, pemeriksaan biasa sebagaimana diatur pasal 89-97 UU PPHI. Kedua, pemeriksaan cepat sebagaimana pasal 98-99 UU PPHI.

Begitu pula dengan putusan sela, Sugeng menyebut yang membuat PHI berbeda dengan peradilan umum yakni PHI mengenal putusan sela yang tidak bisa diajukan perlawanan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 96 UU PPHI. Berbeda dengan peradilan umum dimana putusan sela dapat dimintakan banding. (Baca Juga: Delapan Substansi Pokok Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja)

Sugeng mengakui tidak mudah bagi majelis hakim PHI untuk memberikan putusan sela karena kebanyakan kasus sangat berkaitan dengan pembuktian, sehingga putusan sela digabung dengan perkara dan dibacakan di akhir. Tapi ketika bertugas menjadi hakim ad hoc di PHI Gresik, Sugeng mengaku pernah memutus putusan sela. “Karena perusahaan mengakui belum membayar upah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait