Hapus Syarat Perusahaan Penempatan, UU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Perlindungan Buruh Migran
Berita

Hapus Syarat Perusahaan Penempatan, UU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Perlindungan Buruh Migran

UU Cipta Kerja menyederhanakan perizinan untuk perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) hanya sekedar administratif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi penempatan pekerja migran Indonesia. Hol
Ilustrasi penempatan pekerja migran Indonesia. Hol

Kritik terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus bergulir. Kali ini disuarakan organisasi masyarakat sipil yang fokus di bidang perlindungan buruh migran. Dari 4 UU yang terdampak masuk klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, salah satunya UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU Cipta Kerja mengubah sebanyak 4 pasal dan menyisipkan 1 pasal dalam UU PPMI.

Misalnya, pasal 57 ayat (1) UU PPMI mengatur tentang Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) diberikan untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 tahun sekali setelah mendapat rekomendasi dari badan.

Pasal 57 ayat (2) UU PPMI mengatur syarat perpanjangan SIP3MI yakni telah melaksanakan kewajiban untuk memberikan laporan secara periodik kepada Menteri; telah melaksanakan penempatan paling sedikit 75 persen dari rencana penempatan pada waktu memperoleh SIP3MI; masih memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang ditetapkan; memiliki neraca keuangan selama 2 tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang diaudit akuntan publik; tidak dalam kondisi diskors; dan telah melaporkan dan menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) untuk divalidasi ulang. Tapi, berbagai persyaratan yang diatur Pasal 57 ayat (1) dan (2) itu dihapus melalui UU Cipta Kerja.

Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (SekNas JBM), Savitri Wisnuwardhani, menilai UU PPMI memberi peran besar kepada pemerintah untuk melindungi buruh migran. Berbeda dengan UU No.39 Tahun 2004 yang menyerahkan perlindungan buruh migran kepada perusahaan penempatan. Pasal yang mengatur tentang perizinan untuk P3MI itu merupakan salah satu upaya perlindungan buruh migran Indonesia. Sayangnya, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan yang sudah diatur cukup baik dalam UU PPMI.

Savitri menilai diubahnya ketentuan yang mengatur tentang perizinan bagi P3MI itu semakin melemahkan perlindungan buruh migran Indonesia. Ini terjadi karena lemahnya mekanisme pengawasan terhadap aktor swasta yang melakukan pelanggaran dalam proses migrasi. “Pasal perizinan kepada P3MI yang menjadi salah satu aspek untuk memastikan perlindungan PMI disimplifikasikan menjadi perizinan administrasi. Sedangkan dalam migrasi kerja, yang bermigrasi bukan barang, tetapi manusia yang harus dilindungi,” kata Savitri ketika dihubungi, Sabtu (21/11/2020). (Baca Juga: Pemerintah Rampungkan RPP Perizinan Berusaha Berbasis Risiko)

Ketua Umum SBMI, Hariyanto, mengatakan dicabutnya kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan dalam memberikan izin kepada P3MI, yang diganti oleh pemerintah pusat, dinilai akan mengacaukan tata kelola perizinan P3MI. Penerbitan izin P3MI yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat sangat tidak jelas rumusannya sehingga berpeluang memperlemah persyaratan dalam pemberian izin P3MI.

“Tentunya ini akan berdampak pada pelindungan PMI,” ujarnya.

Plt Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Reni Mursidayanti, mengatakan UU Cipta Kerja mengubah 4 perizinan berusaha yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU PPMI. Empat jenis perizinan berusaha itu meliputi lembaga pelatihan kerja (LPK), Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS), perusahaaan alih daya, dan SIP3MI. “Semuanya akan terintegrasi dengan sistem online single submission (OSS),” kata Reni Mursidayanti.

Tags:

Berita Terkait