Konsep dan Penafsiran Iktikad Baik dalam Hukum Perdata

Konsep dan Penafsiran Iktikad Baik dalam Hukum Perdata

Hukum Indonesia condong pada penafsiran unsur iktikad baik subjektif, namun pembeli perlu membuktikan telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam membeli agar bisa ditetapkan sebagai pembeli beriktikad baik.
Konsep dan Penafsiran Iktikad Baik dalam Hukum Perdata

Unsur iktikad baik (good faith) dalam suatu perjanjian merupakan asas terpenting (super eminent principle) dan sangat fundamental dalam suatu kontrak bisnis. Penafsiran yang lentur tentang iktikad baik terlebih belum adanya pengertian tunggal terkait prinsip iktikad baik juga membuatnya kerap dijadikan sebagai alasan sapujagat pembelaan diri saat terjadi sengketa keperdataan, baik wanprestasi, sengketa jual-beli, perkara kekayaan intelektual, kontrak internasional, perjanjian perkawinan dan lainnya yang berhubungan dengan kontrak.

Berasal dari hukum Romawi Kuno yang dikenal dengan sebutan bonafides (Perbuatan seseorang dilakukan secara wajar dan patut), prinsip iktikad baik mulanya banyak diserap oleh negara-negara yang menganut sistem hukum civil law. Baru belakangan, Ridwan Khairandy dalam penelitiannya menyebut common law countries seperti Amerika Serikat, Australia dan Kanada ikut menerapkan asas iktikad baik dalam hukum kontraknya. Tak sampai di situ, Artikel 1.7 UNIDROIT dan artikel 1.7 Convention Sales of Goods juga mengadopsi keberlakuan prinsip good of faith ini.

Ridwan membagi setidaknya terdapat tiga persoalan terkait prinsip iktikad baik yang masih menyisakan kontroversi hingga kini. Pertama, terkait pengertian iktikad baik yang tidak bersifat universal. Untuk diketahui, hingga kini tak ada keseragaman pengertian soal iktikad baik dalam implementasi kontrak. Bahkan bila merujuk pada Pasal 1338 KUHPerdata, tak diterangkan secara tegas apa batasan suatu kontrak disebut telah memenuhi unsur iktikad baik pada tingkatan Undang-Undang. Dari penelusuran Hukumonline, merujuk pada hasil rapat-rapat pleno hakim kamar perdata, itupun sifatnya hanya pedoman, bukan merupakan acuan wajib layaknya pengaturan pada tingkat Undang-undang.

Hukumonline.com

Akhirnya, pada persoalan kedua, Ridwan meneliti bahwa tolak ukur (legal test) yang digunakan hakim untuk menilai ada tidaknya iktikad baik dalam kontrak nyatanya juga berbeda-beda. Untuk diketahui, memang hakim memiliki wewenang untuk memutus perkara berdasarkan independensi hakim hingga melakukan upaya menemukan hukum (rechtsvinding). Perbedaan tafsir akhirnya menjadi isu tersendiri terkait kepastian hukum.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional