Inilah Filosofi Lahirnya Klausula Arbitrase
Utama

Inilah Filosofi Lahirnya Klausula Arbitrase

Ada beberapa hal yang perlu disepakati dalam klausula arbitrase.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi klausula arbitrase. Ilustrator: HGW
Ilustrasi klausula arbitrase. Ilustrator: HGW

Para pihak yang membuat perjanjian dapat secara bebas dan seimbang menentukan apa saja yang akan dimuat dalam perjanjian yang mengikat mereka. Dalam perjanjian dapat dimasukkan pula klausula arbitrase, yaitu klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Klausula semacam itu dibuat untuk mengatasi sengketa atau konflik yang mungkin terjadi.

Arbitrase, menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis dan dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang di buat para pihak setelah timbul sengketa.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Paripurna P. Sugarda, mengatakan ada filosofi yang mendasaqri klausula arbitrase, yakni pilihan bebas para pihak yang akan berjanji (free will and liberty). Para pihak secara terpisah punya otonomi untuk melakukan perjanjian dan mengusulkan klausula arbitrase sebagai jalan keluar jika terjadi sengketa. “Kehendak bebas para pihak adalah filosofi yang penting,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan BANI dan Perhimpunan Dosen Hukum Ekonomi Indonesia, Kamis (19/11) lalu.

Kehendak para pihak itu tidak dapat dipisahkan dari asas kebebasan berkontrak. Asas ini mengandung pengertian ada kebebasan untuk sepakat mengatur tentang apa saja dan dengan siapa saja. Ini adalah bagian dari hak-hak kebebasan manusia. Kebebasan sangat penting baik untuk pengembangan diri maupun dalam hubungan seseorang denga orang lain dalam masyarakat, sehingga kebebasan berkontrak itu sering dipandang sebagai hak asasi manusia.

(Baca juga: Ketua Pusat: Pengadilan Boleh Menolak Eksekusi Arbitrase).

Profesor Paripurna mengutip pandangan P.S Attiyah tentang dua konsep yang saling bertailan dalam kebebasan berkontrak. Pertama, berbasis pada mutual agreement. Kedua, free choice yang tak bisa dihalangi (unhampered) oleh siapapun baik lembaga pemerintah atau legislatif. Dalam praktik perjanjian dikenal konsep party autonomy, yang bermakna para pihak dapat dengan bebas menentukan prosedur acara arbitrase yang mereka kehendaki dan menentukan hukum yang berlaku.

Konsep lain yang relevan adalah separability. Konsep ini mengandung arti bahwa suatu klausula arbitrase berdiri sendiri dan terpisah dari perjanjian pokok. Dengan konsep ini, batalnya perjanjian pokok tidak mempengaruhi keabsahan klausula arbitrase. “Pembatalan suatu perjanjian, tidak membatalkan klausula arbitrase,” tegas Paripurna.

Konsep separability itu antara lain dapat dibaca dalam Pasal 16 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbkitration 1985. “The arbitral tribunal may rule on its own jurisdictions with respect to the existence of valisity of the arbitration agreement. For that purpose, an arbitration clause which forms part of a contract shalla be treated as an agreement independent of the other terms of the contract. A decision by the arbitral tribunal that the contract is null and avoid shall not entail ipso jure the invalidity of the arbitration clause”.

Tags:

Berita Terkait