Reformasi Perizinan Usaha Jadi Inti Pelaksanaan UU Cipta Kerja
Utama

Reformasi Perizinan Usaha Jadi Inti Pelaksanaan UU Cipta Kerja

Izin usaha saat ini masih bersifat kompleks karena terdapat perbedaan antara kementerian dan lembaga dan tingkat daerah.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Kegiatan Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Tata Ruang, Pertanahan, Proyek Strategis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Informasi Geospasial di Yogyakarta, Rabu (2/12). Footo: MJR
Kegiatan Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Tata Ruang, Pertanahan, Proyek Strategis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Informasi Geospasial di Yogyakarta, Rabu (2/12). Footo: MJR

Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja patut ditunggu sebagai salah satu solusi mengatasi tumpang tindih regulasi kegiatan usaha. Metode penyusunan regulasi secara omnibus tersebut diharapkan pemerintah dapat mereformasi peraturan sehingga meningkatkan investasi di Indonesia.

Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lestari Indah, menjelaskan reformasi perizinan tersebut meliputi berbagai sektor usaha. Reformasi dilakukan dengan mengubah konsep menjadi berbasis risiko. Pendekatan tersebut nantinya membagi tiga jenis usaha yaitu risiko rendah, menengah dan tinggi.

Menurut Lestari, izin usaha saat ini masih bersifat kompleks karena terdapat perbedaan antara kementerian dan lembaga dan tingkat daerah. “Semua kegiatan usaha harus ada izin, banyak sekali izin-izin untuk kegiatan usaha, kompleks. Setiap kementerian dan lembaga punya pola sendiri-sendiri,” jelas Lestari dalam kegiatan Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Tata Ruang, Pertanahan, Proyek Strategis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Informasi Geospasial di Yogyakarta, Rabu (2/12).

Lestari menambahkan konsep perizinan berbasis risiko tersebut tidak melemahkan pengawasan pemerintah terhadap kegiatan berusaha. Dia menjelaskan saat izin mendirikan bangunan pengawasan dilakukan secara bersamaan dengan proses pengerjaan gedung. Berbeda dibandingkan konsep perizinan sebelumnya yang standarnya hanya di awal saja namun saat pengerjaan tidak memenuhi kriteria. (Baca: Hindari Konflik, Partisipasi Publik Dibutuhkan dalam Perencanaan Tata Ruang)

“Kita alihkan komptensi pemerintah pada pengawasannya, untuk dorong pelaku usaha sesuai standar. Dulu standar hanya saat mau urus izin, habis itu lepas,” jelas Lestari.

Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Investasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Zainal Fatah menerangkan UU Cipta Kerja memberi kemudahan perizinan bagi pelaku usaha saat memulai bisnisnya. Pada sektor PUPR, Zainal menerangkan melalui UU Cipta Kerja penerbitan sertifikat layak fungsi lebih cepat menjadi 3 hari. “(Penerbitan) SLF bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dengan UU Cipta Kerja jadi 3 hari karena inspeksi dilakukan bersama-sama saat mulai membangun,” jelas Zainal.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi Kementerian Perhubungan, Umar Arif mengatakan penyederhanaan perizinan dalam UU Cipta Kerja tidak mengabaikan aspek-aspek keselamatan. Dia juga menjelaskan pemerintah tetap menjalankan ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional pada sektor perhubungan.

Tags:

Berita Terkait