UU Cipta Kerja Dinilai Hambat Kemajuan Kebijakan Penyandang Disabilitas
Berita

UU Cipta Kerja Dinilai Hambat Kemajuan Kebijakan Penyandang Disabilitas

Karena menghapus sejumlah ketentuan dalam berbagai UU yang mendorong pelindungan dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah “cacat,” bukan “penyandang disabilitas” sebagaimana mandat pasal 148 UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Penyandang disabilitas. Foto: RES
Penyandang disabilitas. Foto: RES

Pemerintah berharap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat memangkas prosedur perizinan untuk mendorong/meningkatkan masuknya investasi dan penciptaan lapangan kerja. Tapi perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja terhadap puluhan UU terdampak berkaitan juga dengan pelindungan dan aksesibilitas penyandang disabilitas.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, menilai secara umum UU Cipta Kerja membuat mundur kebijakan untuk penyandang disabilitas. Dia menjelaskan sejak tahun 1999 regulasi yang terkait penyandang disabilitas mengalami kemajuan sampai akhirnya pemerintah dan DPR menerbitkan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Meski terlambat karena UU No.8 Tahun 2016 mengamanatkan pemerintah paling lambat 2 tahun untuk menerbitkan peraturan pelaksana, Fajri melihat pemerintah telah menerbitkan 8 peraturan pelaksana tersebut. Selain itu, periode 2011-2019 tercatat 60 daerah sudah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Penyandang Disabilitas. Dari berbagai regulasi yang sudah terbit, Fajri mengatakan konvensi hak-hak penyandang disabilitas (CRPD) yang diratifikasi melalui UU No.19 Tahun 2011 mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas.

Sebelumnya, cara pandang yang digunakan hanya sebatas melihat fisik, sementara CRPD menekankan pada lingkungan yang menyebabkan orang menjadi disabilitas. Misalnya, pengguna kursi roda tidak bisa naik ke lantai 2, hal ini menunjukkan disabilitas terjadi bukan karena fisik, tapi lingkungannya yakni kondisi bangunan tidak memungkinkan bagi pengguna kursi roda untuk mengakses sampai ke lantai 2. (Baca Juga: Uji Formil UU Cipta Kerja, Pemohon Minta Hakim MK Independen dan Obyektif)   

Perspektif yang menganut model sosial (pemenuhan hak) terhadap penyandang disabilitas, menurut Fajri ada juga dalam Pasal 27 ayat (2) UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.

Ketentuan ini mengatur agar lingkungan dapat mudah diakses penyandang disabilitas. Perspektif lain sifatnya sumbangan atau charity dapat dilihat dalam Pasal 69 UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebut pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan, santunan duka cita, dan kecacatan bagi korban bencana.

Sementara terbitnya UU Cipta Kerja membuat mundur berbagai regulasi yang selama ini mendorong pelindungan dan aksesibilitas penyandang disabilitas. Fajri menyoroti sedikitnya ada 4 hal. Pertama, pembentukan UU Cipta Kerja tidak transparan dan partisipatif. Kelompok penyandang disabilitas tidak pernah diundang pemerintah dan DPR untuk membahas RUU Cipta Kerja.

Tags:

Berita Terkait