Catatan Minus Terhadap Perlindungan Pembela HAM
Utama

Catatan Minus Terhadap Perlindungan Pembela HAM

Sampai saat ini dinilai tidak ada penyelesaian yang adil dan memadai terhadap seluruh kasus penyerangan terhadap pembela HAM. Diharapkan ada sistem perlindungan pembela HAM yang dimuat dalam revisi UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi HAM: BAS
Ilustrasi HAM: BAS

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 9 Desember sebagai hari pembela HAM internasional dan 10 Desember sebagai hari HAM sedunia. Peran pembela HAM dalam mempromosikan perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi penting. Namun, faktanya pembela HAM belum mendapatkan perlindungan yang memadai.  

Koordinator Peneliti Imparsial, Ardi Manto, menyebutkan pembela HAM sebenarnya membantu pemerintah untuk menegakkan HAM, tapi perlindungan terhadap pembela HAM belum memadai. Kasus intimidasi, kekerasan, kriminalisasi, dan pembunuhan yang menimpa pembela HAM sampai saat ini dinilai belum diselesaikan secara adil. Salah satu contohnya pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang sampai saat ini belum terungkap aktor intelektualnya.

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan pembela HAM mencatat periode Januari-Oktober 2020 terjadi 116 kasus serangan terhadap pembela HAM. Serangan dilakukan secara langsung seperti perampasan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran aktivitas secara represif, kriminalisasi, kekerasan, intimidasi, peretasan media digital, dan pembajakan akun.

“Berdasarkan catatan Koalisi sebanyak 59 kasus dari peristiwa serangan terhadap pembela HAM itu melibatkan aparat kepolsiain. Hingga saat ini tidak ada penyelesaian yang adil dan memadai terhadap seluruh kasus penyerangan tersebut,” kata Ardi dalam diskusi secara daring bertema “Darurat Perlindungan Pembela HAM”, Selasa (8/12/2020). (Baca Juga: Catatan Minus Legislasi, Penegakan Hukum, dan HAM Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf)

Selain kasus Munir yang terbengkalai, Koalisi juga menyoroti sejumlah kasus penyerangan terhadap pembela HAM seperti Ravio Patra yang akunnya diretas; intimidasi terhadap penyelenggara dan narasumber diskusi mahasiswa UGM pada 29 Mei 2020, sehingga acara diskusi itu dibatalkan. Kasus serupa dialami pembicara diskusi bertema “Diskriminasi Rasial terhadap Papua” yang digelar UKPM Teknokra Universitas Lampung pada 11 Juni 2020, Tantowi Anwari.

Tantowi mengalami doxing dimana ada upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadinya di internet dengan tujuan untuk menyerang dan melemahkan. Dia menerima ancaman doxing yakni dari nomor tak dikenal mengirim foto atau screenshot e-KTP atas nama Tantowi Anwari, diikuti ancaman melalui pesan suara dan teks. Doxing juga menimpa perempuan pembela HAM, Ernawati dan dua orang lainnya yang aktif memprotes RUU Cipta Kerja.

Selain itu, peretasan dialami 2 media nasional yakni Tempo dan Tirto pada 21 Agustus 2020. Akibat peretasan itu laman tempo.co.id menampilkan pesan dari peretas. Sementara tirto.id mengalami peretasan berupa penghapusan 7 artikel berita dan merusak beberapa berita lain. Salah satu artikel yang dihapus berjudul “Soal Obat Korona: Kepentingan BIN dan TNI Melangkahi Disiplin Sains.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait