Indonesia, Antara Post Democracy dan Mengarah Otoritarianisme
Utama

Indonesia, Antara Post Democracy dan Mengarah Otoritarianisme

LBH Jakarta menganggap beberapa kebijakan pemerintahan Joko Widodo dinilai mengancam kehidupan demokrasi, bertolak belakang dengan konstitusi, dan HAM. Rakyat terus mengalami penindasan, sementara oligarki mendapat keistimewaan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Suasana penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10) lalu. Foto: RES
Suasana penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10) lalu. Foto: RES

Jelang akhir tahun, LBH Jakarta mengumumkan hasil kerja mereka selama satu tahun dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Jakarta 2020. Dalam Catahu yang mengusung tema “Demokrasi di Tengah Oligarki dan Pandemi” ini tercatat sepanjang tahun 2020 LBH Jakarta menerima 963 pengaduan meliputi 257 pengaduan terkait perburuhan; 225 isu perkotaan dan masyarakat urban; 198 isu sipil politik; 162 kasus keluarga; 76 kasus perempuan dan anak; dan sisanya 348 kasus berrsifat nonstruktural.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan tema Catahu ini dipilih karena situasi demokrasi di Indonesia terus memburuk. Beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintahan Joko Widodo dinilai mengancam kehidupan demokrasi, bertolak belakang dengan konstitusi, dan HAM. Rakyat terus mengalami penindasan, sementara oligarki mendapat keistimewaan.

“Kondisi ini menempatkan Indonesia pada post-democracy (publik dijauhkan dari proses pengambilan kebijakan, red) yang mengarah pada otoritarianisme (berkuasa sendiri secara sewenan-wenang, red),” kata Arif Maulana ketika dikonfirmasi, Senin (21/12/2020). (Baca Juga: Beragam Indikasi Ruang Gerak Kebebasan Sipil Makin Sempit)  

Arif menjelaskan demokrasi adalah sistem yang bertujuan menciptakan keseimbangan (check and balances) antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar kekuasaan tidak terkonsentrasi pada eksekutif. Pemerintahan yang demokratis selalu membutuhkan lembaga negara lain dan kritik rakyat untuk memberikan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Tapi setelah terpilih kembali menjadi Presiden periode 2019-2025, Joko Widodo menarik lawan politiknya untuk masuk dalam pemerintahan.

Akibatnya, anggota parlemen kebanyakan berasal dari partai politik pendukung pemerintah dan DPR tidak tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam mengawasi pemerintahan. “Berbagai kebijakan dan legislasi bisa diketok tanpa interupsi, meski secara formil dan substansi inkonstitusional,” ujar Arif.

Pemerintah juga ikut mempengaruhi independensi kekuasaan kehakiman melalui sejumlah cara. Misalnya, merevisi UU MK untuk memberi keistimewaan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Hakim MK juga ditempatkan atau diajak pada konflik kepentingan dimana Presiden Joko Widodo meminta langsung kepada MK untuk mendukung Omnibus Law (Cipta Kerja). Kemudian disusul pemberian penghargaan yang semakin menggerus integritas dan independensi hakim konstitusi.

Dalam diskusi daring bertajuk “Ruang Gerak Masyarakat Sipil Sesudah UU Cipta Kerja”, Kamis (17/12/2020) kemarin, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto menilai demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari ruang kebebasan sipil yang makin sempit. Termasuk mempersempit ruang untuk oposisi demokratis; mengarahkan lembaga-lembaga demokrasi sesuai kemauannya; dan secara bertahap mengubah suatu negara menjadi negara otoriter.

Tags:

Berita Terkait